Minggu, 11 Januari 2009

Pergeseran Paradigma (Hukuman Mati dan Sistem Pembenarannya)

Hukuman mati merupakan kejahatan negara prameditation – pemikiran dan perencanaan terhadap suatu pembunuhan yang dilakukan dan dipersiapkan secara sistematis dan matang terlebih dahulu – dan/atau pembunuhan yang dilegalisir dan diadministrasikan oleh negara.

Pidana mati merupakan salah satu jenis pidana yang tertua dalam usianya, setua usia kehidupan manusia dan paling kontroversial dari semua system pidana, baik di negara-negara anglosaxon dengan aliran hukumnya common law system, maupun di negara-negara Eropa kontinental yang system hukumnya civil law. Penelusuran histories terhadap hukuman mati, telah berhasil membuktikan bahwa dewasa ini, di negara-negara dipelbagai belahan dunia ini selalu saja mempermasalahkan penerapan hukuman mati itu.

Ada beberapa negara yang masih mempertahankan hukuman mati dalam stelsel hukum pidana nasional. Salah satu diantaranya, yaitu Indonesia sebagai negara retensionis yang teguh mempertahankan hukuman mati dalam stelsel hukum pidananya. Pidana mati mulai berlaku di Indonesia, pada 1 Januari 1918 yang telah tercantum dalam Wetboek Van strafrecht (KUHP) yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial Belanda berdasarkan K.B.v. 15 Oktober 1915, No. 33. S. 15-732 jis. 17-497, 645 yakni W.v.S yang sudah berlaku di Hindia Belanda. Peninjauan pidana mati telah dinasionalisasikan dengan UU 1 Tahun 1946 yang delik-deliknya itu ada di KUHP dan ada pula delik yang tersebar diluar KUHP dalam wujud UU. Ketentuan itu telah ditransformasikan dalam memori penjelasan (Memorie van Toelichting), bahwa negara berhak untuk menjalankan semua peraturan ini, termasuk pidana mati sebagai “kriterium keharusan” dengan maksud negara dapat memenuhi kewajibannya untuk menjaga ketertiban hukum dan kepentingan umum.

Aliran Retensionis dan Abolisionis Ada dua aliran pemikiran dalam hukuman mati yang berseberangan satu sama lainnya, yaitu aliran pemikiran retensionis (pro) dan abolisionis (kontra). Secara teoritis kontroversial pro dan kontra pidana mati dimulai sejak dipublikasikannya buku ”Dei Dellitti E Delle Pene” Cesare Beccaria (1764), dan pengaruh tulisannya itu terasa kembali berkibar dan berpengaruh besar antara masa perang dunia I dan II yang mendorong bangkitnya aliran humanisme. Intinya, pengakuan eksistensi kemartabatan manusia akan tuntutan penghargaan hak asasi manusia, terutama hak atas hidup (rights to life) dan hak-hak sosial lainnya. Kaum retensionis merumuskan pidana mati lazimnya itu bersifat transcendental, dibangun dari conceptual abstraction, yang mencoba melihat pidana mati hanya dari segi teori absolut, dengan aspek pembalasannya dan unsur membinasakan. Dalam pengertian khusus teori absolut, bahwa pidana mati bukanlah pembalasan melainkan refleksi dan manifestasi sikap muak masyarakat terhadap penjahat dan kejahatan, maka nestapa yuridis berupa hukuman mati harus didayagunakan demi menjaga keseimbangan dalam tertib hukum. Bahkan secara ekstrim dan kejam teori pembalasan tetap mempertahankan sloganisme Kant, “andaikata besok dunia akan kiamat, penjahat yang terakhirpun tetap dipidana mati pada hari ini.” Tesis ini dikategorikan sebagai tindakan pembinasaan dari teori pembalasan (the vindictive theory of punishment).

Sedangkan teori relatif dengan aspek menakutkan (menjerakan) bertujuan melindungi masyarakat umum dan menakuti niat jahat calon penjahat yang secara potensial dapat berbuat jahat. Teori relatif mengandung aspek menakutkan, tetapi lebih cenderung ke segi proses paksaan psikologis, dengan maskud agar si penjahat menjadi jera, atau upaya menakuti bagi mereka yang secara potensial dapat berbuat jahat. Sementara kaum abolisionis melihat teori absolut dan teori relatif tidak mempunyai daya pengaruh kuat dan efektif untuk menekan statistik kriminalitas. Pendekatan aliran kriminologi cukup efektif, mencoba melihat pidana mati dari segi “conceptual concritization” yakni pidana mati harus disesuaikan dengan pola perubahan zaman dan kondisi strukturasi sosial kehidupan masyarakat. Kajian ini berusaha meneropong kejahatan dari pengaruh faktor-faktor perkembangan psikologis, sosiologis, ekonomi, politik, dan nilai nilai budaya yang tetap hidup dalam masyarakat. Selain aliran kriminologi, ada juga dua aliran hukum baru yaitu aliran Penologi, bertujuan untuk mengukur derajat keberhasilan membina dan memperbaiki si penjahat agar menjadi orang yang baik dan berguna bagi masyarakat, juga bagi narapidana itu sendiri. Teori pembinaan ini cukup efektif, karena memasukan elemen-element masyarakat sendiri sebagai pusat pembinaan (community oriented) yang mengutamakan pembinaan terhadap narapidana, walaupun konteksnya masih bersifat individual centered dan individual oriented. Sedangkan aliran Victimologi lebih menekankan pemberian reparasi, rehabilitasi, dan kompensasi bagi pihak korban yang mendapat musibah dari perbuatan jahat yang dilakukan oleh penjahat dan memberikan perhatian pada penderitaan dan hak hak si korban.

Perdebatan hukuman mati, tetap saja terjebak pada aliran positivisme legis, lahir lahir dari aliran pemikiran hukum murni, yang selalu berpegang teguh bahwa hukum adalah Undang-Undang, selain Undang-Undang bukan hukum. Sehingga para yuris dalam memutuskan setiap perkara selalu berpedoman pada ketentuan ini. Hakim hanya sebagai mulut yang membunyikan Undang-Undang, tidak mengambil tindakan proaktif untuk menggali nilai-nilai hukum baru yang terus berkembang dalam masyarakat. Secara prinsipil aliran pemikiran hukum murni, selalu manafikan diskusi-diskusi yang bertautan dengan pembicaraan tentang filsafat moral, etika, hak asasi manusia apalagi berbicara sosiologi hukum.

Tradisi positivisme legis seperti Indonesia, temanifestasi dari civil law system yang meletakan sistim hukum terutama pada peraturan perundang-undangan, sedangkan pada negara dengan common law system menekankan system hukum pada sociological yurisprudensi bersifat analitis dan evaluatif yang terdiri dari norma yang tidak tertulis yang berperan penting. Dalam system hukum ini termaktub azas stare decisis atau the binding force of precedents, asas keterikatan hakim pada putusan hakim sebelumnya sebagai precedent Pergeseran Paradigma Untuk mengukur derajat-derajat perubahan paradigmatik hukuman mati pada perspektif positivisme dengan doktrin-doktrinnya yang kaku dan statis berikut penjustifikasiannya, apakah legitimasinya masih relevan sehingga tetap dipertahankan? Pertanyaan ini perlu dikaji dari dua aliran pemikiraan, pertama, aliran sosiologi hukum yang mempelopori lahirnya mazhab “the realitic jurisprudence”atau sering disebut legal realism, dalam perwujudannya berhasil membangun aliran pemikiran hukum kritis, yang berguna untuk mendedah nilai-nilai hukum baru, dengan upaya khusus merumuskan sistem pergeseran paradigma positivisme formalisme ke system pemikiran realisme. Konsep hukum dari paham realisme ini, merumuskan bahwa hukum merupakan kristalisasi dari unsure-unsur nilai sosial yang diyakini oleh masyarakat sebagai norma atau kaidah penopang keberlangsungan hidup mereka. Aktivitas penthakrifan realisme hukum itu, dimaksud menegasikan pengkhianatan kaum professional hukum, yang acapkali bersembunyi dibalik doktrin legisme yakni hukum yang telah dipositifkan menjadi lege itu adalah konsensus rakyat, dan karena itu hukum merupakan objectifield subjectivities yang telah dinetralkan sebagai “rule of law.”

Kenyataannya, aparatus pemerintah dengan polarisasi hukum positifnya yang “ignoratio juris” menuntut kepatuhan mutlak masyarakat tanpa kompromi dan tanpa kecuali, tidak bisa mengelak dari hukuman. Konfigurasi perubahan paradigma hokum dengan konsep postivisme legis digunakan untuk membangun kesadaran dan mengayomi hak-hak sipil, bukan untuk menjustifikasikan kewenangan rekayasa kekuasaan negara. Sehingga dalam penetrasi rekayasa sosial menunjukkan adanya korelasi yang sistemik antara hukum dan bidang lain dalam masyarakat seperti kebudayaan, politik, ekonomi yang mendorong proses perubahan sosial itu terjadi.

Hukuman mati dengan kadar represifnya yang tinggi (teori pembalasan) dan selalu dalam wujud delik (pidana) lebih dominan dalam kehidupan masyarakat dengan solidaritas mekanis untuk menanggulangi berbagai ancaman dan pelanggaran-pelanggaran terhadap keutuhan kesadaran nurani kolektif. Sedangkan hukum represif tidak berfungsi secara efektif dalam suatu masyarakat yang telah berkembang menjadi modern, heterogen dan penuh diferensisasi. Kedua, dari hasil catatan perjuangan filsafat kemanusiaan abad 18 tentang eksekusi hukuman mati melalui Quillotine, maupun ke tiang gantungan bernoda darah manusia, merupakan fitnahan terhadap fitrah hidup manusia dewasa ini.

Hanya demi keuntungan suatu masa depan historis, menuntut orang percaya bahwa hukuman mati dilegitimasikan demi penundukkan mutlak rakyat kepada otoritas penguasa. “Bukankah obat akan ditemukan pada sifat dan karakter dari penyakitnya.” Tetapi, lazimnya para penguasa, demikian juga hakim tidak terlalu minat membicarakan tujuan hukuman mati karena dianggap memasuki dunia filsafat sehingga “discovery of penal aims” diserahkan kedunia intelektual sebagai diskusi imajiner “as doctor regard discussion of the ethics of euthanasia or abortion something that they ought not to think about while on dutyI.” Sungguh, manusia terlempar dalam naluri primordial yang irasional maka manfaat dan kerugian hukuman mati sepanjang berabad-abad sampai sekarang, merupakan suatu proses kevakuman intelektual, penghinaan terhadap kemartabatan manusia, dihimpit pesimisme rasional yang naif. Bahkan hati nurani pun tak punya andil dalam gerakan dinamis kehidupan manusia, dari suatu filsafat kemanusiaan dengan hal-ikhwal hukum keseimbangannya yang menantang nurani dan nalar manusia, bukan dengan cara merilis konsepsi maupun doktrin-doktrin teoritis masa lalu, bukan juga harapan dan janji teoritis masa datang, melainkan mengusung pemikiran kritis, ide-ide, fakta-fakta yang diakui demi kepentingan manusia dewasa ini. Bukankah manusia mempunyai akal budi dan hati nurani untuk berubah? Manusia mempunyai persepsi dan jangkauan penglihatan yang sangat jauh kedepan?.

Emilianus Afandi Laggut,SH

www.pbhi.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUMBANGAN PEMIKIRAN SANGAT KAMI HARGAI