Minggu, 11 Januari 2009

Hatzaai Artikelen, Menghantar Demokrasi Jadi Impoten

Hatzaai artikelen, merupakan pasal-pasal penyebaran rasa kebencian terhadap warga sipil dan pemasungan terhadap para aktivis. Dahulu pada masa kolonial Belanda pasal ini dijadikan alat politik untuk mengamankan kekuasaannya di Indonesia,dan pada masa Soeharto pasal-pasal tersebut dipertahankan demi kepentingan yang tidak beda dengan kolonial Belanda yaitu mengamankan kekuasaan. Di era reformasi sekarang saatnya pasal ini dicabut karena sudah tidak cocok lagi untuk diterapkan pada kondisi dimana rakyat menginginkan kebebasan perpendapat (freedom of speech) kebebasan berkumpul (freedom of assembly), dan berkeinginan untuk partisipasi dalam politik secara mandiri (autonomous participation).

Sudah menginjak usia tua Negara Indonesia, terbebas dari kaum penjajah. Usia 60 tahun merupakan umur satu generasi dalam hal ini tentu seharusnya sudah ada kedewasan demokrasi yang tertanam dalam ruh masyarakat dan bangsa ini. Kita tentu tahu bahwa setiap tahun bangsa Indonesia selalu merayakan hari yang bersejarah dan tidak bisa terlupakan. Akan muncul ketidakrelevansian pada bangsa Indonesia sekarang ini. Karena masih banyak pemasungan-pemasungan hak terhadap kebebasan terhadap warga negara dan ini tentu menjadi persoalan besar bagi rakyat Indonesia, dimana suatu bangsa yang sudah memproklamasikan diri sebagai negara yang merdeka dan demokratis akan tetapi pada kenyataannya masih banyak terjadi perampasan-perampasan keadilan dan hukum terhadap para aktivis, mahasiswa, tokoh organisasi,dan masyarakat sipil.

Membangun masyarakat yang demokratis tentu dimulai dari tataran para parlemen sehingga kemudian akan menyentuh kepentingan masyarakat dan “ruh” yang merupakan kekuatan bagi kepentingan masyarakat. Demokrasi tidak bisa dieliminir pada satu sisi yang kemudian cendrung memihak pada kekuatan tertentu. Membangun sebuah demokrasi terkadang seringkali disalah artikan, manakala demokrasi itu harus berbaur dengan keashoran, nilai-nilai sopan santun sehingga ketika para demonstran turun kejalan dengan melakukan penghinaan foto Presiden dan Wakil Presiden dan kemudian para demonstran dijerat pasal 134 KUHP, pelaku bisa di hukum penjara enam tahun dan ini merupakan salah satu bentuk penghambat jalannya penegakkan demokrasi. Dan kalau hanya berstandarkan pada subtansi bahwa Undang-undang tersebut sebagai langkah pendewasaan para pendemo agar arif dan bijak dalam menyampaikan aspirasinya, maka penerjemahan seperti itu tentu belum bisa menjawab persoalan-persoalan yang terjadi di tengah masyarakat. Karena argumen itu hanya berpihak pada kelompok penguasa, dan sementara para penguasa yang melakukan korupsi, menyalahgunakan kekuasaannya tidak ada kejelasan hukum yang menjerat mereka dan ini hampir terjadi pada lini kaum penguasa.

Undang-undang Dasar 1945 memberikan kejelasan bahwa “Negara Indonesia berdasarkan hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat) dengan demikian bahwa kekuasaan harus tunduk kepada hukum dan hukum menjadi sarana pengendali, pengawas dan pengontrol kekuasaan dari kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan atau penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang dan tidak malah menjadi sebaliknya digunakan sebagai sarana untuk melegitimasi kekuasaan sehingga kemudian dengan seenaknya menggunakan kekuasaan secara sewenang-wenang. Dalam pasal 28e (3)dan pasal 28f Undang-undang Dasar 1945 dengan jelas dan gamblang yang memberikan kejelasan atas kebebasan berserikat berkumpul dan mengeluarkan pendapat yang kemudian terhambat oleh pasal-pasal Hatzaai artikelen yang memang pasal tersebut merugikan kepentingan bangsa, negara dan rakyat Indonesia (merugikan kepentingan publik).

Jadi alat penguasa

Pada abad 16, dalam era penjajahan imperialisme dan kolonialisme, di Inggris lahir sebuah produk hukum yang sangat otoriter. Undang-undang pidana tentang komunikasi publik itu menyebar keberbagai belahan bumi ini melalui penjajahan. Dan ini dipakai oleh kolonial untuk mematahkan gerakan-gerakan perlawanan kebangsaan dikalangan pemimpin pribumi, atau mereka yang bersimpati kepada perjuangan kemerdekaan bangsa terjajah.Hukum ini begitu menggiurkan sehingga bagi penguasa-penguasa kolonial karena sangat menguntungkan, sehingga di mana-mana menjadi “idola” para penguasa kolonial. Di Amerika yang dijajah Inggris, dia dikenal sebagai The law of Sedition. Di India yang di jajah Inggris dia dikenal sebagai pasal 124a British Indian Penal Code. Di Indonesia yang dijajah Belanda, dia dikenal sebagai “Hatzaai Artikelen”. Semua penguasa yang memegang hukum semacam ini sebagai senjata untuk menindas para aktivis yang melakukan kritikan terhadap para penguasa.Yang tragis, pasal penindas itu, tidak segera dihapuskan bahkan sampai saat sekarang masih dipertahankan dan dilestarikan sebagai penjegal pikiran-pikiran kritis para aktivis. Di KUHP Indonesia pasal-pasal Hatzaai Artikelen antara lain pasal 134, 136 Bis, pasal 137, pasal 154, pasal 155, pasal 156 dan pasal 160 KUHP. Dengan munculnya pasal-pasal ini, kebebasan dan kemerdekaan tidak lagi menjadi prinsip tapi justru banyak bermunculan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara terhadap warga sipil. Menanggapi persoalan itu sering kali di dunia Pengadilan sering menjatuhkan hukuman terhadap para demonstran yang dianggapnya bersalah dan telah melanggar pasal 134 dengan tuduhan melakukan penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden. Salah satu contoh yang terjadi adalah pada seorang aktivis mahsiswa bernama Gendho terkait dengan telah diputusnya oleh Majelis Hakim persidangan perkara pidana di Pengadilan Negeri Denpasar dengan No.156/Pid.B/2005/PN.Dps atas nama terdakwa I Wayan “Gendo” Suardana yang telah divonis 6 (enam) bulan penjara, pada 10 Juni 2005 yang mana telah dianggap bersalah terbukti melakukan tindak pidana “Penghinaan terhadap Presiden” dalam hal ini adalah sebagai korban pasal 134 jo 136 bis KUHP. Membias pada penculikan terjadi dikalangan para aktivis Mahasiswa ketika melakukan tuntutan terhadap pemerintah dan peristiwa yang telah tejadi ketika Aksi penolakan terhadap kenaikan BBM pada 20 Desember 2004 oleh mahasiswa di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam hal seorang mahasiwa yang bernama Bay Harkat Firdaus Alias Jonday Majlis Hakim Pengadilan telah menjatuhi hukuman 5 (lima) bulan dan 2 (dua) hari dimana pengadilan menyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana; penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden atas dasar pasal 134 KUHP. Dari dua peristiwa tersebut diatas merupakan korban dari pasal-pasal yang memang ditentang oleh para aktivis dan masyarakat karena menjadi penghambat perjalan sebuah demokrasi yang selalu diperjuangkan oleh para aktivis dan masyarakat.

Oleh;

Ali Imron
Pemerhati Hukum dan Voluntir divisi Advokasi di PBHI Pusat

www.pbhi.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUMBANGAN PEMIKIRAN SANGAT KAMI HARGAI