Minggu, 11 Januari 2009

Tentang Pertahanan Di Indonesia

Oktober 2005

Writing panel: Gunawan

Studi Kebijakan, Divisi Analisa Kebijakan Publik, Pemantauan, dan Kampanye PBHI


bab 1

buku putih dan merah darah

“Apapun Bisa Dilakukan oleh Militer,Kecuali Mendirikan Bayonet dan Duduk Diatasnya”“Tuhan Berpihak Kepada Bataliyon yang Terkuat”

Dua kutipan diatas adalah ucapan almarhum jenderal alteleri Napoleon Bonaparte, dipilih untuk menggambar sejarah dan perkembangan militer dalam konteks pertahanan dan keamanan di Indonesia. Militer Indonesia dalam sejarahnya tidak pernah satu fungsi: pertahananan (apapun bisa dilakukan), yang secara doktrinnya dikenal sebagai “jalan tengah” seperti yang diperkenalkan oleh almarhum Jenderal Besar Abdul Haris Nasution di tahun 1950-an yang kemudian berkembang menjadi Dwi Fungsi ABRI sebagaimana hasil Seminar II Angkatan Darat di tahun 1966, yang melegitimasi peranan militer di luar pertahananan, tetapi juga peran keamanan, sosial, politik, kebudayaan bahkan olah raga.

Militer mengambilalih kekuasaan sipil (kudeta) telah dilegitimasi oleh Buku Putih tentang Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) - G30S/PKI (Partai Komunis Indonesia) - yang disusun oleh almarhum Nugroho Notosusanto dan kawan-kawan. Tragedi 1965 adalah petualangan (advonturisme) politik PKI yang melibatkan apa yang disebut PKI sebagai “perwira progresif” (perwira berpikiran maju) yang telah dibina oleh Biro Chusus PKI dalam rangka KKM (Kerja di Kalangan Musuh) sebagai bagian dari praktek MKTB (Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan). Soeharto dan Angkatan Darat – terutama sekali RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan DARAT – sekarang menjadi KOPASSUS (Komado Pasukan Khusus) dan KOSTRAD (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) - adalah penyelamat yang kemudian menghantar Soeharto diangkat sebagai Pangkopkamtib (Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan mendapatkan Super Semar (Surat Perintah Sebelas Maret) dari mendiang Presiden/Mandataris MPR/Panglima Tertinggi Angkatan Perang/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno almarhum.

Sejarah (history) tragedi 1965-1966 versi negara/militer (his- story) dalam perkembangan banyak bukti baru yang menunjukan bahwa tragedi berdarah dan penuh misteri tersebut melibatkan black proganda militer (kebohongan di depan publik) dan provokasi kekerasan terhadap massa yang dilakukan militer memunculkan pembantaian massal. PKI memang terlibat seperti yang diakui oleh salah seorang anggota Politbiro PKI, Sudisman. Namun keterlibatan kesatuan-kesatuan militer yang mengambil bagian dalam pembunuhan para jenderal dan perebutan RRI bertindak mandiri bahkan peristiwa tersebut adalah konflik internal Angkatan Darat khususnya konflik internal Divisi Diponegoro. Penelitian-penelitian lain juga telah berhamburan yang menunjukan aktor-aktor lain dibalik atau diluar Untung, Dul Latief, Suparjo dan D.N. Aidid berserta lima kamerad, misalnya Soekarno, CIA, bahkan pribadi Soeharto sendiri. Yang pada intinya teks buku putih G30S/PKI-nya tentara harus dikritisi dan tentara mesti melakukan kritik-otokritik atas keterlibatanya dalam tragedi berdarah tersebut.

Dampak dari pemalsuan sejarah ini adalah munculnya negara dan masyarakat tanpa ideologi (kesadaran) dan tanpa kritisime, diperlemahnya supremasi sipil atas militer, sehingga persoalan pertahanan yang merupakan kebutuhan publik (public goods) yang harus menjadi kebijakan publik yang diselenggarakan negara, 100% dibawah dominasi dan hegemoni militer dalam perkiraan ancaman dan perencanaan strategisnya.

Tahun 2003, Departemen Pertahanan Negara Republik Indonesia mengeluarkan “Buku Putih Pertahanan Republik Indonesia” yang diberi judul Indonesia: Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad 21. Undang-Undang Nomer 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara Pasal 16 Ayat 4 telah mengamanatkan Menteri Pertahanan untuk menyusun “Buku Putih Pertahanan” serta penetapan kebijakan kerja sama bilateral, regional dan internasional dibidangnya.

Buku Putih Pertahanan ini memiliki dua arti penting. Pertama, untuk memberikan pemahaman yang lengkap dan utuh tentang penyelenggaraan pertahanan negara Indonesia dan keterpaduan perwujudannya. Kedua, untuk mengkomunikasikan kebijakan pertahanan Indonesia kepada masyarakat internasional. Melalui pemahaman tersebut akan tercipta rasa saling percaya dan saling menghormati antara segenap komponen bangsa Indonesia, begitupun dengan negara-negara di kawasan regional dan internasional[i], singkatnya untuk confidence building measures.

Di dalam “Buku Putih Pertahanan” tersebut, dapat kita lihat bahwa bersandarkan pada reformasi pertahanan nasional, pembacaan konteks strategis serta perkiraan ancaman dan kepentingan strategis pertahanan, maka kebijakan strategis penyelenggaraan pertahanan negara tetap bersandar pada sistem pertahanan semesta (sishanrata), yang kemudian oleh pihak TNI ditafsirkan dengan perlunya bahkan memperluas keberadaan komando teritorial (Koter) TNI, seperti rencana Kepala Staf TNI AD Letnan Jenderal Djoko Santoso yang akan menambah 19 markas komando distrik militer (makodim), dan markas komando resor militer (makorem).

Dalam sejarah Indonesia sishankamrata (sistem pertahanan-keamanan rakyat semesta) cukup efektif untuk melucuti Heitesan Dai Nippon (prajurit kerajaan Jepang), baik Rikugun (Angkatan Darat) maupun Kaigun (Angkatan Laut). Menghancurkan manuver tentara pendudukan Inggris (Southeast Asia Command–SEAC) di tahun 1945 dan perlawanan terhadap serdadu-serdadu NICA (Netherlands Indie Civil Adminitration) dalam perang revolusi kemerdekaan nasional Indonesia. Namun perlawanan dan pertahanan serta keamanan nasional bukanlah inisiatif dari Pemerintah atau semata-mata inisiatif dari MBT (Markas Besar Tentara yang kemudian menjadi SUAD – Staf Umum Angkatan Darat), tetapi lebih dikarenakan inisiatif dari para pemuda pelopor (pemuda revolusioner bersenjata). Artinya, bagi rakyat (pemuda), jika negara dalam keadaan bahaya, akan secara sadar mengorganisir milisi untuk menjaga kedaulatan negara dan membangun wilayah pertahanan sehingga bisa dijadikan basis gerilya tentara reguler. Di masa pasca pengakuan kedaulatan RI, Sishankamrata dan Koter dapat mendukung diplomasi dan kampanye militer (kampanye perang) pembebasan Papua Barat, Semenanjung Malaya, Singapura dan Kalimantan Utara, dimana mobilisasi umum yang diserukan Presiden Soekarno mampu menciptakan sebuah operasi militer yang didukung oleh milisi rakyat sambil mendendangkan lagu “Majulah Sukarelawan” .

Tetapi Koter, di masa Pemerintahan Soekarno juga lahan bagi economic crimes, pemberontakan daerah, infiltrasi intelijen asing, seperti dalam kasus PRRI/PERMESTA (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta). Di masa Orde Baru, Koter semakin parah, karena Koter adalah alat bagi represifitas, korporatisme dan kooptasi negara atas segenap kegiatan masyarakat yang berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia.

Namun pada soal militerisasi sipil di masa Soekarno dan Soeharto bahkan hingga pemerintahan sekarang sama-sama menghasilkan trauma sejarah, mulai dari soal Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani yang dipersenjatai, paramiliter organisasi-organisasi kepemudaan-preman, milisi bentukan TNI di wilayah konflik dan sebagainya.

Selanjutnya, pembentukan 10 Bataliyon Raiders dan Pembentukan Tontaipur (Peleton Intai Pertempuran) Kostrad, serta pembelian pesawat Sukhoi, adalah contoh arti penting bagi TNI tentang “bataliyon yang terkuat” untuk menghadapi perang modern. Namun segenap upaya modernisasi militer dengan tidak disertai pembangunan profesionalisme militer tidaklah membawa pada penguatan pertahanan bahkan menjadi ancaman bagi keamanan nasional (national security). Apa yang menimpa Kopassus dapat kita jadikan pelajaran sejarah. Kopassus sebagai pasukan elit dan pasukan komando yang selalu dimodernkan, dalam era reformasi ini sekalipun, anggotanya masih terlibat dalam pembunuhan politik, peledakan bom, dan menjadi pengawal pengusaha.

Kembali ke soal “Buku Putih Pertahanan 2003” Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad 21 yang diterbitkan oleh Departemen Pertahanan pada tanggal 31 Maret 2003, merupakan penggambaran doktrin sistem pertahanan semesta yang akan dilegalisasi dalam berbagai produk hukum, mempengaruhi postur TNI, dan sebagai dasar pembikinan grand design alutsista (alat utama sistem pertahanan).

Produk hukum tentang pertahanan antara lain: UUD 1945 Bab XII Pasal 30 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara; TAP MPR-RI No.VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; TAP MPR-RI No. VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia; Undang-Undang Nomer 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara; Undang-Undang Nomer 2 Tahun 2002 tentang Polri); Undang-Undang Nomer 34 Tahun 2004 Tentang TNI.

Jika doktrinya adalah sistem pertahanan semesta dan seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang 1945 (Bab XII Pertahanan Negara Pasal 30 Ayat 2) dan Undang-Undang Nomer 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara (Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 (2), maka akan dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana dalam tabel berikut:


Kelengkapan Hukum Sesuai Amanat Undang-Undang Nom0r 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara

No

Pasal

Produk harus dipersiapkan

1

8 (3)

UU tentang Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung

2

9 (3)

UU tentang: Pendidikan Kewarganegaraan; Pelatihan Dasar Kemiliteran Secara Wajib; Pengabdian Sebagai Prajurit TNI Secara Sukarela atau Secara Wajib; Pengabdian Profesi

3

11

UU Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi TNI

4

15 (8)

Kepres tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dewan Pertahanan Nasional

5

17 (4)

Kepres Tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Panglima dan Kepala Staf Angkatan

6

18 (3)

UU Tentang Wewenang Panglima Menggunakan Segenap Komponen Pertahanan Negara dalam Penyelenggaraan Operasi Militer

7

20 (2)

PP yang mengatur segala sumber daya nasional yang berupa sumber daya manusia, sumber daya alam dan buatan, nilai-nilai, teknologi, dan dana dapat didayagunakan untuk meningkatkan kemampuan pertahanan negara

8

20 (3)

PP tentang Pembangunan di daerah harus memperhatikan pembinaan kemampuan pertahanan

9

22 (2)

PP tentang wilayah yang digunakan sebagai instalasi militer dan latihan militer yang strategis dan permanen


Dengan konsep pertahanan semesta seperti yang diasumsikan diatas, misalnya soal Komponen Pendukung, hal itu juga memerlukan produk hukum yang mengatur soal Rakyat Terlatih (Ratih) sebagai komponen pendukung, Keadaan Darurat (Emergency Act) sebagai syarat untuk mobilisasi umum, serta yang mengatur Mobilisasi dan Demobilisasi itu sendiri (di masa Orde Baru telah ada yaitu UU Nomer 27 Tahun 2007 Tentang Mobilisasi pengganti Undang-undang Nomor 14 Tahun 1962 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Pemanggilan dan Pengerahan Semua Warga Negara dalam rangka Mobilisasi Umum untuk Kepentingan Keamanan dan Pertahanan Negara menjadi Undang-undang).

Belum lagi ditambah produk hukum keamanan nasional, misalnya tentang UU Batas-batas Wilayah NKRI, ; UU Anti Teroris, UU Rahasia Negara, dan UU Intelijen, usulan Undang-undang tentang Keamanan Dalam Negeri (Internal Security Act/ISA) ataupun yang terkait dengan paradigma TNI, misalnya “Redefinisi Reposisi dan Reaktualisasi Peran TNI Dalam Kehidupan Bangsa” yang ditandatangani Jenderal Wiranto pada tanggal 5 Oktober 1998 dan buku TNI Abad XXI, Redefinisi, Reposisi dan Reaktualisasi Peran TNI dalam Kehidupan Bangsa: Langkah-langkah Reformasi Internal Lanjutan TNI (Tahap II) yang ditandatangani oleh Panglima TNI Laksamana Widodo AS pada tanggal 5 Oktober 2001.

Dari sekian kelengkapan hukum tersebut, menurut Andi Widjajanto[ii], pengamat militer dari FISIP UI, regulasi politik I meliputi: (1). RUU TNI; (2). RUU Wajib Militer; (3). RUU Peradilan Militer; (4). RUU Tugas Perbantuan; (5). RUU Operasi Militer Selain Perang; (6). RUU KCKPN; (7). RUU Bela Negara; (8). RUU Mobilisasi dan Demobilisasi; (9). RUU Tata Ruang Wilayah Pertahanan.

Sedangkan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, memandang perlunya Undang-Undang Keamanan Negara untuk untuk menemani undang-undang kepolisian, seperti halnya undang-undang pertahanan dengan undang-undang TNI, selain itu, lanjut Menhan Juwono Sudarsono memandang hal-hal lain yang terkait pertahanan dan keamanan negara, diatur dengan dengan RUU, UU, dan Peraturan Pemerintah lain seperti RUU Intelijen, UU tentang Keimigrasian, UU tentang Kebebasan Informasi, UU Hubungan Luar Negeri, RUU tentang Rahasia Negara, UU tentang Otonomi Daerah, dan hal-hal lain yang terkait pertahanan dan keamanan negara perlu terjalin dalam semangat kebersamaan "sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta[iii].

Elemen-elemen kritis masyarakat sipil demokratik Indonesia memberikan respon atas proses legislasi pertahanan dan keamanan, yang pada umumnya lebih mengarah kepada kekhawatiran atas menguatnya kembali posisi TNI di luar pertahanan seperti dalam kasus Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB) dan RUU TNI. Serta kekhawatiran akan ancaman terhadap hak sipil-politik misalnya dalam kasus UU Anti Teoris dan UU Intelijen. Sedangkan dalam kasus persenjataan TNI, respon diberikan kepada mekanisme pembelian yang dinilai mengandung unsur kolusi, korupsi dan nepotisme, semisal isu Sukhoigate.

Pertanyaanya adalah apakah masyarakat sipil hanya akan merespon dinamika isu pertahanan itu sebatas bila ada ancaman terhadap supremasi sipil, demokrasi, dan hak asasi manusia? Jika itu, yang dibutuhkan adalah bagaimana kontrol sipil atas militer tersebut akan dilakukan? Namun jika persoalannya adalah pada kebijakan pertahanan dan keamanan secara menyeluruh, persoalannya adalah bagaimana memasukan aspirasi demokrasi dalam strategi pertahanan dalam kerangka konsolidasi demokrasi?

Di dalam Undang-Undang Pertahanan, Undang-Undang TNI, dan “buku putih pertahanan 2003” telah menyatakan berprinsip pada demokrasi, hak asasi manusia, kesejahteraan umum, lingkungan hidup, ketentuan hukum nasional, hukum internasional dan kebiasaan internasional, serta prinsip hidup berdampingan secara damai, namun hal itu masih harus dibuktikan dalam praktek kesehariannya.

Terkait pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka elemen-elemen kritis masyarakat sipil demokratik harus juga mampu membikin analisis situasi, design, strategic planning, dan logical time work yang mampu memberikan evaluasi atas doktrin sishanrata dan sikap kritis-historis atas peranan TNI serta solusi yang itu nantinya akan berguna dalam memberikan masukan kepada kebijakan pertahanan alternatif, mengawal proses legislasi, uraian penjelasan terhadap masyarakat, dan materi pendidikan bagi masyarakat sipil dan masyarakat politik untuk lebih bisa memahami persoalan pertahanan, mengingat masih lemahnya kapabilitas sipil untuk itu. Kapabilitas tersebut bukan hanya pemahaman atas pengetahuan kemiliteran, dan adanya military enthusias dari pihak sipil, tetapi berkait dengan otoritas.

Jika otoritas sipil sendiri lemah, akibat pemerintahan yang korup, konflik elit yang tak berkesudahan, dan lemah kemampuan politiknya, sedangkan gerakan sosial belum kuat. Sementara pihak militer masih berlaku sebagai warlord di daerah-daerah, bermain api konflik, enggan meninggalkan dominasinya di bidang politik, maka tidak hanya pertahanan dari segi militer saja yang rapuh, tetapi juga ambruknya pertahanan sosial.

Terbentuknya pemerintahan baru hasil Pemilu 2004, adalah moment historis bagi elemen-elemen kritis masyarakat sipil demokratik di Indonesia untuk menciptakan the new historical block bagi kebijakan pertahanan di Indonesia. Tindakan awal yang paling mungkin dilakukan adalah mengajukan kritik terhadap “buku putih pertahanan 2003” dan produk hukum yang terkait dengan pertahanan. Alasan ini diambil karena bersandar Undang-Undang Nomer 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara Bab IV Pasal 13 : “(1) Presiden berwenang dan bertanggung jawab dalam pengelolaan sistem pertahanan negara; (2) Dalam pengelolaan sistem pertahanan negara, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Presiden menetapkan kebijakan umum pertahanan negara yang menjadi acuan bagi perencanaan, penyelenggaraan, dan pengawasan sistem pertahanan negara.”

Maka pilihan hanya ada dua bagi pemerintahan SBY-JK, mengikuti “Buku Putih Pertahanan”, dan melengkapi produk hukum untuk mendukung Undang-Undang Nomer 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara atau merubahnya, menjadi involutif (reaksioner) atau evolutif (progresif) bahkan revolusioner.

Dengan mengkritisi kebijakan yang telah ada maka elemen-elemen kritis masyarakat sipil demokratik dapat merespon dengan cepat dengan membangun gerakan dalam rangka advokasi jika pemerintahan baru tidak melakukan perubahan. Tetapi jika dilakukan perubahan, maka masyarakat sipil telah memiliki pijakan mengikuti perubahan situasi atau pilihan-pilihan tindakan yang sesuai dengan kondisi.


bab 2

menegakkan kedaulatan rakyat dan kedaulatan negara

1. Supremasi Sipil dan Kontrol Obyektif “Bedil Harus Tunduk Kepada Partai. Dan Jangan Sekali-kali Bedil Memerintah Partai”(Mao)

Hal yang kontroversial dalam UU TNI adalah tentang tentara rakyat dan pasal yang ditolak yaitu pengerahan pasukan tanpa persetujuan presiden (Pasal 19 RUU TNI Ayat 1 : “Dalam keadaan mendesak, di mana kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa terancam, Panglima dapat menggunakan kekuatan TNI sebagai langkah awal guna mencegah kerugian negara yang lebih besar). Kedua hal ini penting untuk dikaji karena hal tersebut terkait erat dengan wacana supremasi sipil.

Tentang penggunaan istilah tentara rakyat, meski definisinya rakyat diartikan bahwa anggota TNI berasal dari warga negara Indonesia, sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomer 34 Tentang TNI Bab II Jati Diri Pasal 1 Ayat 1. Tetapi definisi terkadang tidak sesuai dengan ruh yang pararel dengan kesadaran sejarah yang dipahaminya.

Selama ini militer Indonesia menganggap dirinya sebagai penyelamat negara dan rakyat dibandingkan dengan politisi sipil yang dianggap cenderung banyak ributnya. Dua kali tentara menyelematkan republik klaimnya, di masa perjuangan fisik 1945 dan di masa Orde Lama, serta di masa sekarang ketika eufhoria reformasi dianggap melahirkan berbagai gejolak sosial.

Namun hal ini dapat dibantah, bahwa perjuangan bersenjata di masa revolusi 1945 tidak dimonopoli oleh tentara (TKR) semata, tetapi didominasi oleh para pemuda revolusioner bersenjata. Dan situasi transisi Orde Lama-Orde Baru yang diawali oleh gerakan militer G30S (Gerakan 30 September) atau Gestok (Gerakan Satu Oktober) menurut Bung Karno hingga pengangkatan Jenderal Soeharto oleh MPRS adalah sejarah gelap bangsa ini yang harus dibongkar. Serta gejolak sosial yang berbentuk konflik komunal dengan kekerasan, kerusuhan massa, dan gerakan separatis bersenjata tetap tidak bisa dilepaskan dari kekerasan struktural dan kemiskinan struktural di masa lampau (di masa rezim militer Orde Baru) serta indikasi keterlibatan militer dalam gejolak sosial tersebut.

Militer juga merasa harus manunggal dengan rakyat, sebagaimana yang tertuang dalam “Buku Putih Pertahanan Negara Republik Indonesia”. Indonesia: Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad 21” dalam Bab II Reformasi Nasional dan Pertahanan Negara sub bab Reformasi Internal :

TNI telah melakukan berbagai upaya untuk kembali pada jati dirinya sebagai tentara yang berasal dari rakyat, berjuang untuk rakyat, dan melindungi keselamatan rakyat. Oleh karena jiwa rakyat adalah jiwa TNI, maka TNI harus senantiasa memelihara kemanunggalannya dengan rakyat yang merupakan andalan kekuatan pertahanan negara Indonesia.

Sebagai tentara rakyat, TNI harus selalu dekat dengan rakyat. TNI perlu mengenal dan hidup bersama rakyat. Oleh karena itu, upaya-upaya untuk memisahkan TNI dari rakyat merupakan pengingkaran akan kodrat TNI sebagai tentara yang berasal dari rakyat, berjuang bersama rakyat dan untuk kepentingan rakyat. Inilah salah satu hakekat penyelenggaraan fungsi teritorial yang dilaksanakan TNI untuk tetap memelihara kedekatan dengan rakyat dan teritorialnya.

Bagi Agus Widjojo[iv], diperlukan kejelian untuk mengangkat nilai hakiki dari kedekatan TNI dengan rakyat dan mencari nilai instrumental bagi implementasinya dalam tatanan sebuah negara demokratis dan modern. Kedekatan TNI dengan rakyat harus selalu merupakan nilai yang berada pada setiap jiwa prajurit TNI secara perseorangan. Dengan demikian dalam setiap tugas apapun yang harus ia lakukan ia akan selalu menghargai dan mencintai rakyat sehingga tidak akan menyakiti hatinya. Tapi kedekatan dengan rakyat tidak serta-merta diartikan merupakan hak pada tataran institusi TNI, karena beberapa alasan : (1) pengertian rakyat dalam sebuah permasalahan dalam negeri menjadi politis dan abstrak (2) rakyat merupakan sumber kedaulatan yang telah menyalurkan mandatnya kepada pimpinan yang ia pilih melalui pemilihan umum (3) TNI tidak memiliki otoritas untuk mengklaim dirinya memiliki “monopoli” rakyat, karena tidak langsung menerima mandat (otoritas politik) dari rakyat, (4) apapun yang dilakukan TNI, harus didasarkan kepada keputusan politik oleh Presiden dengan kewenangan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang undangan.

Di lain sisi terminologi tentara rakyat, tentara profesional, tentara revolusioner ataupun tentara praetorian adalah persoalan tipologis yang berangkat dari asumsi-asumsi hubungan militer dengan politik.

Tentara rakyat memiliki kriteria sama dengan tentara revolusioner, yaitu unit militer yang didirikan dalam rangka revolusi: pembebasan nasional dan pembebasan rakyat, sehingga sering juga dipergunakan istilah tentara pembebasan rakyat atau tentara pembebasan nasional atau tentara pembebasan saja. Pasca revolusi, setelah para aktifis gerakan revolusioner (kemerdekaan/pembebasan) berhasil merebut kekuasaan nasional, biasanya tentara pembebasan berubah nama menjadi tentara nasional.

Dalam hubungan sipil-militer, ada dua model dari tentara rakyat, model pertama tentara yang tunduk kepada partai atau organisasi sipil yang menaungi sayap militer tersebut, sebagai contoh tentara merah di tubuh partai komunis, sayap militer dari Fatah (Brigade Al-Aqsa) dan Hamas - Harakah al-Muqawamah al-Islamiyah (Brigade Izzuddin al Qassam) dalam gerakan perlawanan Palestina. Dalam gerakan separatis di Indonesia GAM (Gerakan Aceh Merdeka) memiliki sayap militer bernama AGAM/TNA (Angkatan Gerakan Aceh Merdeka/Tentara Nasional Aceh), OPM (Organisasi Papua Merdeka) punya TPM (Tentara Papua Merdeka) dan Fretelin (Frente Revolucionario Timorense de Libertacao e Independencia) punya Falintil (Forcas Armadas de Libertacao Nacional de Timor-Leste).

Model kedua gerakan revolusioner yang mengorganisir diri dalam kesatuan militer, seperti yang dilakukan oleh Castro dan Che Guevara serta diteorisasikan oleh Regis Debray. Unit-unit militer tidak tunduk kepada partai, tetapi bertindak mandiri dibawah pimpinan commandante guerillos. Model Kuba ini banyak dianut oleh beberapa kelompok di Amerika Latin. Dalam gerakan separatis di Indonesia meski berinduk kepada organisasi politik yang menaungi namun, AGAM/TNA, TPM, dan Falintil bertindak mandiri dalam menyusun operasi militernya.

Di Indonesia, semasa revolusi, tentara rakyat atau tentara pembebasan atau tentara revolusioner tidak didirikan oleh negara pasca proklamasi 1945. Dan tidak ada partai ataupun organisasi massa yang membangun sayap militer sebelum Proklamasi 1945, meskipun ada isu yang dihembuskan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda bahwa SI (Sarekat Islam) mempunyai afdeling B dan PKI membikin DO (Double Organisatie) untuk mempersiapkan pemberontakan bersenjata terhadap Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Di tahun 1945, Pemerintah hanya mendirikan BKR (Badan Keamanan Rakyat), 22 Agustus 1945 – atas inisiatif Bung Hatta - yang merupakan bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP), hingga tanggal 5 Oktober 1945 bekas-bekas PETA (Pembela Tanah Air) dan KNIL(Koninjklijk Nederlands Indisch Leger) yang setia kepada Republik serta beberapa badan perjuangan pemuda melakukan konferensi di Yogyakarta yang menghasilkan pendirian TKR (Tentara Keamanan Rakyat), mendirikan MBT (Markas Besar Tentara) di Yogyakarta dan mengangkat Panglimanya sendiri.

Namun TKR adalah hanyalah salah satu bentuk dari gerakan pemuda bersenjata di waktu itu, karena di luar TKR para pemuda revolusioner bersenjata juga mendirikan badan-badan perjuangan bersenjata, demikian juga partai-partai mendirikan sayap militer, dan kemunculan laskar-laskar rakyat.

Tentara yang bersikap harus berpolitik, menolak tunduk kepada supremasi sipil dan bermaksud mengkontrol seluruh badan-badan perjuangan bersenjata. Namun di waktu bersamaan Amir Syarifuddin selaku menteri pertahanan (keamanan rakyat) selain mendirikan Polisi Tentara dan Staf Khusus untuk Pepolit (Pendidikan Politik Tentara) dalam rangka mengkontrol tentara, juga mengorganisir badan-badan perjuangan atau laskar-laskar rakyat dalam Biro Perjuangan yang nantinya menjadi TNI Masyarakat juga dalam rangka menandingi MBT.

Kabinet Soekarno-Hatta mendapat penentangan dari gerakan pemuda akibat keraguan Soekarno dalam proklamasi dan kritik pemuda kepada para pembuat dan isi teks proklamasi, terhadap komposisi kabinet yang disusun Soekarno serta ketidaktegasannya dalam menghadapi tentara Jepang dan pendaratan Sekutu – Allied Forces - (Inggris, Australia dan para serdadu NICA). Disisi lain Soekarno juga menghadapi tuduhan penjahat perang (criminal war) oleh Sekutu karena dianggap bekerja-sama dengan Jepang, mendorong Soekarno bermain safety dan akhirnya Soekarno mundur kebelakang setelah kabinet presidensil berubah menjadi parlementer dengan Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri.

Segera Sjahrir mendapat penentangan yang sama akibat politik berundingnya. Maka bersatulah para oposisi dalam wadah Fropera (Front Perjuangan Rakyat) yang dibentuk dalam kongres rakyat (3 Januari 1945) di Purwokerto atas inisiatif Tan Malaka, Fropera kemudian berbuah menjadi Persatuan Perjuangan (PP) dalam pertemuan lanjutan di Solo (15-16 Januari 1946). Di kedua pertemuan tersebut Jenderal Sudirman hadir mewakili TNI dan mengutarakan pandanganya yang anti perundingan. Bersatunya oposisi terhadap kabinet Sjahrir bukanlah semata-mata karena rencana politik Sjahrir, tetapi juga lebih dikarenakan jengkel atas komposisi kabinetnya. Tapi yang lebih penting adalah bergabungnya tentara ke PP.

Konflik politik antara Pemerintah dengan pihak oposisi mendorong digunakannya unit-unit militer dan paramiliter, diawali dengan Razia Maret 1946 untuk menangkap para oposan terutama sekali Tan Malaka.

Penangkapan Tan Malaka, ketidaksukaan atas Pepolit, intervensi Departemen Pertahanan atas organisasi tentara terutama sekali pengangkatan Panglima Divisi III (Pekalongan-Kedu-Yogyakarta) dan Divisi IV (Surakarta-Semarang-Madiun) yang kesemuanya diabaikan tentara serta kelanjutan dari politik berundingnya Sjahrir mendorong militer menculik Sjahrir (28 Juni 1946) dan berencana melakukan kudeta pada tanggal 3 Juli 1946 bersama para oposisi yang mereka bebaskan dari penjara Wirogunan Yogyakarta, kudeta tersebut gagal karena melesetnya perhitungan, karena sesampai di Istana Negara Yogya mereka telah dikepung oleh Polisi dan milisi pro pemerintah.

Sikap lebih tegas lagi pemerintah sipil terhadap tentara dilakukan setelah Hatta naik menjadi Perdana Menteri, dengan program Pisau Cukurnya Hatta melakukan Restrukturisasi dan Rasionalisasi (ReRA) di tubuh tentara yang menuntut dibubarkannya beberapa kesatuan tentara terutama sekali di TNI Masyarakat. Pembubaran ini juga banyak penentanganya sehingga terkadang harus dikirim unit tentara untuk membubarkan sebuah kesatuan tentara. Para anggota tentara dan paramiliter yang terkena RERA banyak yang kemudian terlibat dalam Madiun Affair di tahun 1948.

Semasa Orde Lama, Soekarno dan tentara kesal dengan demokrasi parlementarian, sehingga Soekarno harus bersekutu dengan Jenderal Abdul Haris Nasution - yang telah dipecat Soekarno akibat demontrasi tentara mengepung istana presiden dengan meriam pada tanggal 17 Oktober 1956 yang menuntut dibubarkanya parlemen karena parlemen mengajukan RERA di tubuh militer - untuk melaksanakan Undang-undang Darurat (SOB) dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, untuk membubarkan parlemen dan kembali ke UUD 1945. Namun agar tentara tidak dibawah kendali Nasution. Nasution menjabat kepala staf yang berarti tidak pegang tentara secara langsung, sedang seluruh panglima angkatan diangkat menjadi menteri yang berarti hanya patuh kepada Soekarno.

Sejarah berulang, para perwira yang anti Soekarno dan anti Nasution kemudian bergabung dengan oposisi, sekarang dengan para politisi dari Masjumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang memuncak pada peristiwa PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) dan PERMESTA (Perjuangan Rakyat Semesta). Ketidakharmonisan tetap melanda tentara, sebut saja ketidak harmonisan antara RPKAD dengan KKO (sekarang Marinir TNI AL) maupun para perwira Diponegoro yang masih di Jawa Tengah dan para perwira eks Diponegoro di Jakarta, meminjam istilah dari Cornell Paper antara perwira Diponegoro yang “kembali ke semangat Yogya” dengan perwira eks Diponegoro yang “terjakartakan dan mendapatkan pendidikan militer di Amerika”, sebuah konflik militer yang turut menyumbang tragedi berdarah dan penuh misteri di tahun 1965-1966.

Di masa kekuasaan Orde Baru, tentara juga bagian dari instrumen kapitalisme internasional-neo imperialisme, yang bisa ditunjukan dengan peran militer sebagai “anjing penjaga modal” atau “satpam perusahaan transnasional” guna mengamankan progam developmentalism (pembangunanisme) dan modal asing dari gerakan rakyat dan terutama di wilayah konflik seperti Aceh dan Papua, militer melakukan upaya sistematis bagi perlindungan perusahaan asing (MNC/TNC) – semisal Exxon Mobile di Aceh dan Freeport di Papua -, yang berdampak pada jatuhnya korban masyarakat sipil non combatant akibat pembunuhan, penyiksaan, penculikan dan pemindahan paksa.

Disisi lain konsep pertahanan Orde Baru juga mengikuti pola persekutuan Perang Dingin (Cold War) di mana hubungan internasional dibatasi oleh Blok Pertahanan yang dianut sebagai ideologi oleh negara-negara, maka sebagai negara lebih condong ke Amerika, militer Indonesia tidak mempersiapkan menghadapi musuh dari luar karena sudah ada Amerika sebagai polisi dunia tetapi justru mempersiapkan diri menghadapi musuh dari dalam dengan operasi teritorial yang berdampak pada penguatan Angkatan Darat TNI dibandingkan Angkatan-Angkatan lainnya.

Dengan ditumbangkannya rezim militer Soeharto-Orde Baru oleh gerakan reformasi yang dipelopori oleh gerakan mahasiswa di tahun 1998, seharusnya konsolidasi kekuasaan berada dialur konsolidasi sipil dan konsolidasi demokrasi, tanpa intervensi politik militer. Namun konsolidasi demokrasi kemudian berjalan dalam basa-basi transisi elit politik partai dan demokrasi prosedural yang oligarkis. Pemilu 1999, yang seharusnya sebagai konsensus awal terbentuknya pemerintahan yang demokratis berkedaulatan rakyat, ternyata justru menciptakan oligarki-oligarki kekuasaan partai-partai besar dan personalisasi politik elit. Konflik diantara elit politik pasca Soeharto, mengakibatkan reformasi dan demokratisasi tersendat, karena negara dalam situasi otonomi relatif akibat perebuatan kekuasaan terus menerus. Turunnya Gus Dur menyusul kemudian naiknya Mega, tidak bisa dilepaskan dari politik militer. Puncaknya adalah Pemilu 2004, konflik elite, power struggle dan upaya menciptakan balance of power, elit politik berseberangan dengan basis pendukungnya dan mempolitisasi sektor bisnis dan militer serta polisi.

Hal tersebut menjadikan masalah bagi supremasi sipil atas militer, karena militer tidak diletakan sebagai alat negara, tetapi kekuatan politik yang bisa diajak bernegosiasi, yang berdampak pada tidak adanya kontrol obyektif terhadap militer dan para petinggi TNI yang berbicara diluar batasnya. Dorongan politisasi dan kapitalisasi militer serta power struggle yang melibatkan militer mengakibatkan militer terjebak pada negosiasi-negosiasi politik (day to day politics) dan bisnis yang menghambat profesionalisme militer dan penjaga kedaulatan bangsa. Lemahnya kapasitas politik sipil, menyebabkan reformasi militer berjalan tersendat, sehingga masih terjadi keterlibatan militer di economic crimes, militer sebagai promotor kekerasan di wilayah-wilayah konflik, dan nada-nada keengganan bahwa TNI di bawah struktur Departemen Pertahanan.

Kontrol obyektif sipil atas militer (Objective civilian control), - menurut Samuel Huntington (1995) - istilah ini mengandung pengertian: Pertama. Profesionalisme militer yang tinggi dan pengakuan dari pejabat militer akan batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang mereka; Kedua. Subordinasi yang efektif dari militer kepada pemimpin politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer; Ketiga. Pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin politik tersebut atas kewenangan profesional dan otonomi bagi militer; Keempat. Akibatnya, minimalisasi intervensi militer dalam politik dan minimalisasi intervensi politik dalam militer.

Dalam pengertian menghormarti supremasi sipil dan berada di bawah kontrol sipil, perkiraan ancaman dan penggelaran pasukan harus berada di bawah otoritas pemerintahan sipil, yaitu oleh Presiden dibantu Dewan Pertahanan Nasional serta Menteri Pertahanan dan dengan persetujuan DPR. Berbeda dengan tentara politik yang berkehendak dalam menentukan perkiraan ancaman dan penggelaran pasukan termasuk mencari anggaran berdasarkan kehendaknya sendiri tanpa melalui otoritas pemerintahan sipil.

Secara doktrin, supremasi sipil telah diterima oleh pihak TNI sebagaimana yang disebutkan dalam “Buku Putih Pertahanan” Indonesia: Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad 21 tentang implementasi reformasi internal TNI , (Bab II Reformasi Nasional dan Pertahanan Negara sub bab Reformasi Internal TNI), yang meliputi:

  • TNI tunduk pada otoritas politik pemerintah yang dipilih oleh rakyat sesuai dengan nilai-nilai demokrasi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam pelaksanaan tugasnya TNI senantiasa melaksanakan tugas negara untuk kepentingan nasional.
  • Tugas TNI untuk melaksanakan kebijakan pertahanan sebagaimana diatur dalam pasal 10 UU RI No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara ditentukan melalui keputusan politik pemerintah. Oleh karenanya tanggung jawab politik TNI ada pada pimpinan nasional.
  • TNI sebagai bagian dari sistem nasional, tidak mengambil posisi eksklusif tetapi senantiasa memelihara keterkaitan dengan komponen bangsa yang lain.
  • TNI dalam menjalankan tugasnya sesuai aturan pelibatan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Dengan kata lain[v], TNI tidak mempunyai otoritas untuk membuat keputusan politik (seperti menilai keadaan untuk menentukan kapan TNI digunakan) tetapi senantiasa bertindak berdasarkan keputusan politik yang dibuat oleh otoritas politik sipil. Pengadaan senjata[vi], harus sesuai dengan kebutuhan yang sudah direncanakan, termasuk ancaman-ancaman seperti apa yang bakal muncul ke depan. Perencanaan persenjataan ini merupakan otoritas sipil bukan militer. Tetapi selama ini sipil kita tidak banyak berperan, bahkan terkesan menyerahkan pada militer.

Ambiguitas hubungan sipil militer dalam politik Indonesia kontemporer paling transparan terlihat dalam RUU TNI. Todung Mulya Lubis, praktisi hukum, menyebutkan [vii], RUU ini sangat berbahaya bagi kehidupan demokrasi di masa depan. Kita akan memberi legalitas pada militer untuk melakukan kudeta. Ini merupakan entry point masuknya militer ke dalam kehidupan politik.

Jika RUU tersebut dibuat oleh TNI, maka, kesan kuat yang mengemuka adalah keengganan militer tunduk dalam otoritas sipil dalam memperkirakan ancaman dan penggelaran pasukan. Namun jika RUU itu dibikin oleh para politisi di DPR, maka politisi sipil sedang mempolitisasi militer dalam rangka membangun kekuatan politik. 30 September 2004, akhirnya DPR mengesahkan RUU TNI menjadi Undang-Undang Nomer 34 Tahun 2004, memang banyak hal mengalami perubahan drastis dibandingkan ketika masih berupa RUU.

Sesuai dengan tujuan pendirian Pemerintahan Negara Indonesia – seperti yang disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 – yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, teknisnya – sesuai dengan UUD 1945 BAB XII - Pertahanan dan Keamanan Negara - Pasal 30 (2), TNI dan Polri sebagai kekuatan utama pertahanan dan keamanan, maka sesuai dengan perkembangan lingkungan strategis harus segera dilakukan peningkatan profesionalisme dan modernisasi TNI bawah kontrol sipil yang dijalankan secara obyektif dan demokratis dalam rangka menjadikan TNI sebagai instrumen kekuatan nasional (instrument of national power) penjaga bangsa (the guardian of nation) yang memiliki kesiapan operasional (operational readlines) dan kemampuan pertahanan (defence capabilities). Lambannya reformasi TNI, akan memperlambat modernisasi pertahanan. Dan lambannya peningkatan kapasitas dan kapabilitas sipil berdampak pada lambannya reformasi TNI. Selain asumsi tentang masa depan, aspek lain yang harus diperhatikan dalam rangka reformasi dan modernisasi TNI dan pertahanan adalah aspek sejarah, yaitu pelurusan sejarah dan pengadilan HAM.

2. Prediksi Ancaman dan Rencana Strategis Pertahanan

kepada seluruh anggota tentara untuk berpuasa tiga hari untuk “memperdalam keinsjafan atas kesoetjian perdjoeangan kita menoeroet kemerdekaan 100 %(Seruan Panglima Besar Jenderal Sudirman, April 1946)

Sebagaimana ungkap Matori Abdul Djalil – yang kala itu menjabat Menteri Pertahanan RI – dalam sambutan “Buku Putih Pertahanan 2003”, bahwasannya kebijakan pertahanan negara disusun berdasarkan tujuan dan kepentingan nasional dihadapkan pada perkembangan konteks strategis dan kondisi obyektif bangsa. Di dalam “buku putih pertahanan 2003” disebutkan:

Kepentingan strategis pertahanan Indonesia pada dasarnya adalah terwujudnya penyelenggaraan pertahanan yang mampu menjamin upaya pemenuhan kepentingan nasional. Oleh karena itu, maka pertahanan negara memiliki peran dan fungsi untuk mempertahankan eksistensi bangsa Indonesia dari setiap ancaman dan gangguan, baik dari luar negeri maupun yang timbul di dalam negeri (Bab IV Perkiraan Ancaman dan Kepentingan Strategis Pertahanan sub bab Kepentingan Strategis Pertahanan Indonesia)

Dalam konteks strategis, hakekat pertahanan negara merupakan salah satu upaya mewujudkan keamanan nasional (national security) dengan kekuatan militer (Bab V Kebijakan Strategis Penyelenggaraan Pertahanan Negara sub bab Konsep Strategis)

Dalam “Buku Putih Pertahanan 2003” dijelaskan ada dua ancaman atas pertahanan di Indonesia, pertama ancaman tradisional, yaitu agresi atau invasi dari negara lain, yang itu dianggap kecil kemungkinannya, salah satu faktornya adanya peranan PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa). Dan yang kedua ancaman non tradisional, yang bagi “Buku Putih Pertahanan 2003” merupakan ancaman yang lebih besar dari ancaman tradisional, yang itu meliputi: terorisme; separatisme; radikalisme; konflik komunal; kerusuhan sosial; perompakan dan pembajakan di laut; imigrasi ilegal; penangkapan ilegal; pencemaran laut; penebangan kayu ilegal; dan penyelundupan.

“Buku Putih Pertahanan 2003” (Bab IV Perkiraan Ancaman dan Kepentingan Pertahanan Strategis) menyebutkan bahwa kepentingan strategis pertahanan negara kedepan, meliputi kepentingan strategis yang bersifat tetap, kepentingan strategis yang bersifat mendesak, dan kerjasama internasional di bidang pertahanan. Maka kepentingan strategis yang bersifat mendesak diarahkan untuk mengatasi isu-isu keamanan aktual dimaksud, agar keutuhan wilayah NKRI, keselamatan dan kehormatan bangsa dapat terjamin. Dengan demikian maka perioritas penyelenggaraan pertahanan negara diarahkan untuk mengatasi isu-isu keamanan yang timbul di dalam negeri:

kebijakan strategis pertahanan Indonesia yang diarahkan untuk menghadapi dan mengatasi ancaman non-tradisional merupakan perioritas dan sangat mendesak. Dalam pelaksanaannya mengedepankan TNI dengan menggunakan Operasi Militer selain Perang (OMSP).

Penggunaan kekuatan TNI dalam tugas OMSP diarahkan untuk kepentingan pertahanan yang bersifat mendesak. Tugas-tugas mendesak tersebut antara lain melawan terorisme, menghadapi kelompok separatis Aceh dan Papua, menghadapi gangguan kelompok radikal, mengatasi konflik komunal, mengatasi perampok dan pembajak, mengatasi imigrasi ilegal dan pencemaran laut, mengatasi penebangan kayu ilegal, mengatasi penyelundupan, membantu pemerintahan sipil dalam mengatasi dampak bencana alam, penanganan pengungsi, bantuan pencarian dan pertolongan (Search an Rescue), pengamanan tugas-tugas perdamaian dunia. (Ringkasan Eksekutif Lahirnya Buku Putih Pertahanan sub bab Lahirnya Buku Putih Pertahanan).

Meskipun dinyatakan dalam “Buku Putih Pertahanan” bahwa reformasi pertahanan sejalan dengan komitmen reformasi nasional, namun perkiraan ancaman dan perencanaan strategis pertahanan dalam “Buku Putih Pertahanan 2003” jelas perlu direvisi, karena pertama, meskipun baru (bergaya reformis), tetapi gayanya lama (the old reactionary regime), atau - meminjam istilah dari Alman Helvas Ali peneliti di Lesperssi - The new singer still sing the old song[viii], yaitu adanya musuh dari dalam. Kedua, dinamika internasional semakin menunjukan pelanggaran batas kedaulatan oleh militer asing semakin mungkin.

Memang jika kebijakan ekonomi-politik Indonesia tetap pro globalisasi yang ditandai dengan kesediaan pemerintahan Indonesia kepada privatisasi dan liberalisasi perdagangan dan permodalan maka kita tidak perlu bertanya kepada Amerika dan Sekutunya “kalian mau minta apa ? konfrontasi ekonomi ? kita jawab dengan konfrontasi ekonomi; Konfrontasi politik ? kita jawab dengan konfrontasi politik? Konfrontasi militer ? kita akan jawab dengan konfrontasi militer, sebagaimana pernah dipidatokan oleh mendiang Presiden Soekarno.

Karena dalam kenyataanya meski tentara pendudukan asing tidak bercokol di Indonesia, tetapi pengkaplingan tanah-air Indonesia oleh pihak asing telah berlangsung seperti yang diungkapkan Tamrin Amal Tomagola[ix]: “Bukit-bukit di Timika untuk Freeport, Lhok Seumawe untuk Exxon Mobile, beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan untuk Monsanto, Buyat Minahasa dan Sumbawa untuk Newmont Internasional, Teluk Bintun di Papua Barat untuk British Petroleum, Kalimantan Timur untuk PT Kaltim Prima Coa. Bahkan pulau Dewata kebanggaan Indonesiadi Bali nyaris menjadi negara bagian ke-9 Australia”.

Usaha dari lembaga-lembaga keuangan internasional agar pemerintahan Indonesia memprivatisasi air seperti juga di beberapa negara lain, sesungguhnya menunjukan, yang pertama bahwa sedang terjadi krisis air global yang mendorong kapitalisme internasional/neo-imperialisme bermaksud melakukan ekpansi pasar, pencarian laba tertinggi dan pengakumulasian modal lewat privatisasi sumber daya air. Yang kedua krisis air global membikin para ahli memprediksi bahwa air akan menjadi sumber konflik di abad ke-21 ini. Bocoran laporan terkini dari Pentagon yang dikutip The Observer menyebutkan bahwa akan terjadi catastrophic shortage (kekurangan air yang dahsyat) terhadap air di masa mendatang yang akan mengarah pada menyebarnya perang di sekitar tahun 2020[x]. Berarti exit strategy dari jeratan lembaga keuangan internasional dan perusahaan transnasional, dan kebijakan ekonomi-politik Amerika, sangat mungkin memicu ketegangan yang menjurus kepada konflik bersenjata. World Bank, sebagai salah satu sponsor privatisasi air, telah dua kali mengangkat arsitek perang mantan Menteri Pertahanan Amerika menjadi Presiden World Bank, dahulu Robert Mcnamara, arsitek Perang Veitnam tahun 1968, dan kini Paul Wolfowitz, arsitek invasi Amerika ke Iraq tahun 2003. Ini adalah preseden. “Goodby my darling hello Veitnam[xi].”

Sengketa Ambalat, tetap tidak bisa dilepaskan dengan rencana ekplorasi minyak yang melibatkan Shell, pengamanan jalur perdagangan internasional sebagai penopang sistem ekonomi Amerika yang internasional-liberal telah mendorong Amerika berkeinginan mengamankan selat Malaka dari pembajakan dan menyiagakan armadanya untuk patroli internasional yang salah satunya pernah bermanuver di sekitar pulau Bawean. Kebijakan pertahanan dari serangan teroris, mengakibatkan Australia membikin garis pertahanan luarnya hingga wilayah dalam Indonesia. Satuan Radar Pertahanan Singapura sanggup memantau seluruh kepulauan Riau, hal ini berdampak[xii], seluruh penerbangan yang melintas di atas kepulauan Riau harus atas se-ijin Singapura, termasuk Indonesia.

“Buku Putih Pertahanan 2003”, sesungguhnya mengakui adanya kemungkinan konflik kepentingan nasional, seperti yang terungkap dalam Bab I Lahirnya Buku Putih:

Ciri masyarakat global antara lain adanya saling ketergantungan antar bangsa dan tidak jarang berkembang dalam suatu kompetisi yang ketat. Bersamaan dengan itu peta politik dunia cenderung berkembang ke arah perebutan pengaruh sebagai bagian dari perebutan pengaruh antar bangsa, baik pada lingkup global maupun regional. (Bab I Lahirnya Buku Putih)

Keterbatasan kemampuan terutama sektor permodalan, kualitas sumber daya manusia, dan teknologi, serta aturan pasar bebas yang sangat ketat, telah melahirkan kekuatiran bagi negara-negara berkembang. Ketidakmampuan negara berkembang dalam berkompetisi akan menjadikannya hanya sebagai pasar bagi produk-produk negara maju. Ketimpangan persaingan ekonomi negara maju terhadap negara berkembang akan menimbulkan peluang bagi munculnya ketidakpuasan dan tindakan proteksi, sehingga akhirnya memicu konflik dan krisis yang dapat mengganggu stabilitas keamanan. (Bab III Konteks Strategis)

“Buku Putih Pertahanan 2003” dalam Bab III Konteks Strategis sub bab R

www.pbhi.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUMBANGAN PEMIKIRAN SANGAT KAMI HARGAI