Rabu, 28 Januari 2009

PENEGAKAN HAM ATAS KEJAHATAN PERANG ISRAEL

Oleh: Wahidin Kamase, SH
Sekretaris Perhimpunan Bantuan dan Hak Asasi Manusia Indonesia Sulawesi Selatan
(PBHI Sul-Sel)

Rumusan Hak asasi manusia secara universal mulai diakui pada abad 20 tepatnya tanggal 10 Desember tahun 1948 diparis. Disinilah Deklarasi Universal Hak asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) Untuk Mengakui hak setiap orang diseluruh dunia. Declarasi ini ditanda tangani oleh 48 Negara dari 58 Negara anggota PBB. Dengan ditantanganinya Deklarasi ini maka pengakuan dan sekaligus kewajiban Negara untuk menghormati (to respect) melindungi ( to protect) dan memenuhi (to fulfill) hak-hak setiap wargannya. Jaminan Hak Asasi Manusia dalam perang tertuang dalam
Hukum humaniter internasional diharapkan menjadi pengelola dan pengendali efek destruktif konflik bersenjata. Perang yang disebabkan oleh berbagai faktor (miskomunikasi, mispersepsi, pergeseran perimbangan kekuasaan, dan lain-lain) adalah refleksi keinginan elit dalam pengambilan keputusan. Untuk itu, perang atau konflik bersenjata seharusnya dilakukan oleh instrumen formal, yaitu para kombatan. Warga sipil dan fasilitas non militer seharusnya terbebas dari destruksi akibat perang.
Aturan perang yang beradab dituangkan dalam Konvensi Jenewa 1949, yang secara umum mencakup dua hal, yaitu: (1) perlindungan terhadap semua orang yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam perang, dan (2) pelarangan penggunaan senjata dan metode perang yang tidak dapat dikendalikan. Sebanyak 194 negara telah meratifikasi konvensi ini, meskipun tidak semua protokol tambahan dan konvensi pendukung turut diratifikasi. Perkembangan mutakhir pengarusutamaan (mainstreaming) hukum humaniter internasional adalah Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Crime, ICC) yang dibentuk pada tanggal 1 Juli 2002 sebagai implementasi Statuta Roma 1998. Yurisdiksi ICC mencakup kejahatan terhadap perdamaian (crime against peace), kejahatan perang (war crime), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Sampai bulan Mei 2008 statuta ini baru diratifikasi oleh 106 negara. Beberapa negara yang seringkali dikiritik sebagai pelaku pelanggaran dalam konflik bersenjata belum bersedia meratifikasi, antara lain: China, Haiti, India, Israel, Korea Utara, Mozambique, Pakistan, Rusia, Rwanda, Somalia, Sudan, Sri Lanka, Amerika serikat Pada dasarnya, kehadiran ICC merupakan missing link setelah terbentuknya International Court of Justice (ICJ) yang hanya memiliki kewenangan terhadap perkara dengan negara sebagai subyeknya. Tetapi yang terpenting adalah kehadiran ICC merupakan bentuk perlawanan terhadap dominasi negara-negara besar, khususnya Amerika Serikat, dalam menyikapi isu pelanggaran HAM berat (gross violations of human rights).
Pelanggaran terhadap Hukum Humaniter Internasional merupakan terjemahan langsung dari "Violation on International humanitarian law" Oleh karena berbagai perjanjian intrnasional baik Konvensi, statuta maupun protokol memberikan istilah pelanggaran untuk tindakan-tindakan yang bertentangan dengan Hukum Humaniter dan selanjutnya diantara pakar Hukum Humaniter.
Prof Haryomataram menggunakan istilah "kejahatan perang" hal ini dimaksudkan bahwa penggunaan istilah " pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional " dapat dipahami dan diartikan sebagai kejahatan perang.

Nomenklatur tentang kejahatan perang digunakan secara berbeda menurut beberapa Statuta atau Konvensi Internasional yang mengatur tentang tindakan kejahatan perang, dalam Konvensi Den Haag tentang hukun dan kebiasaan perang didarat tanggal 18 Oktober 1907 memberi istilah kejahatan perang sebagai " serious violations " demikian juga Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 dan Protokol tambahan Jenewa tahun 1977 memberi istilah sebagai " grave breaches " sedangkan Konvensi Genosida menyebut definisi kejahatan perang sebagai " a crime under international law
Untuk memperjelas yang dimaksud dengan Kejahatan Perang,
maka dapat dibagi ruang lingkupnya sebagai berikut :
1) Kejahatan perang. Kejahatan perang (dalam arti kata sempit) adalah tindakan pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang sebagaimana diatur dalam Konvensi Den Haag ke IV tahun 1907 tentang hukum dan kebiasaan perang di darat khususnya ketentuan pasal 46,50,52 dan pasal 56 dan Konvensi Jenewa tahun 1929
tentang perawatan prajurit yang sakit dan luka-luka serta tentang tawanan perang. Tindakan kejahatan perang juga mencakup pelanggaran-pelanggaran berat terhadap ketentuan Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang perlindungan korban perang.
2) Kejahatan agresi. Kejahatan terhadap perdamaian dalam bentuk perencanaan, persiapan, memulai atau melaksanakan perang, disebut juga kejahatan agresi. Pada mulanya konsep kejahatan agresi sebagai kejahatan internasional berkait erat dengan
perbedaan antara " Perang adil " dan " Perang tidak adil " ( just and injust war ). Metode-metode perang tidak adil pada dasarnya merupakan perang agresi, yaitu perang yang melanggar keagunan (jaminan) dari fakta untuk tidak saling menyerang ( not to attack ).
3) Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah suatu kejahatan yang baru yang berhubungan dengan doktrin mengenai perlindungan HAM yang dapat diterapkan dimasa perang atau dimasa damai, yang menjadi dasar hukum bagi tindakan kejahatan ini adalah Konvensi Den Haag ke IV tahun 1907 yang menyatakan bahwa penduduk sipil dan pihak-pihak berperang akan tetap tunduk pada perlindungan dan prinsip hukum internasional.
4) Kejahatan Genosida. Bahwa kejahatan genosida adalah tindakan yang berkaitan dengan maksud menghancurkan secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok suku bangsa, etnik, ras atau agama tertentu juga termasuk perbuatan pembunuhan, pengudungan anggota tubuh, penggunaan obat bius yang dapat menghancurkan kelompok termasuk tindakan pemandulan.

Berkaitan Invasi Israel ke jalur Gaza dengan alasan Hamas sebagai organisasi yang sering mengganggu kemaanan Israel dapat dilihat dalam dua persepektif. Pertama adalah legalitas penggunaan kekerasan (use offorce) atau yang dikenal dengan istilah jus ad bellum. Kedua adalah Bagaimana serangan dilakukan atau dikenal dengan istilah Jus in bello. Pada Konteks jus ad bellum menjadi pertanyaan apakah serangan Israel merupakan serangan bela diri (self defence) sebagaimana selalu diargumentsikan atauka serangan ofesif?
Dari uaraian diatas ada dua dasar untuk menglasifikasi serangan israel sebagai serangan ofensif.
1. Israel tidak mealporkan kepada Dewan Keamanan PBB tentang digunakannya kekerasan sebagai hak bela diri sebsgaimana yang diatur dalam piagam PBB pasal 51. Bahkan resolusi DK PBB Np 1860 secara nyata diabaikan dan dilanggar Israel.
2. Dari proposionalitas dan waktu serangan Israel.
Sementara dari persepktif jus ini bello israel telah melakukan pelanggaran dalam hal yang
Berkenaan dengan masalah pendudukan Asing atas Wilayah Palestina, maka Israel telah melukukan pelanggaran Hukum Humaniter, dalam hal ini adalah :
1. Konvesi Jenewa IV, 1949. Setidaknya terjadi pelanggaran terhadap pasal 47 dan 54 yang berbunyi.
Pasal 47. Orang-orang yang dilindungi yang ada di wilayah yang diduduki, bagaimanapun dan dalam keadaan apapun tidak akan kehilangan manfaat dari Konvensi ini karena perubahan yang diadakan dalam lembaga-lembaga atau pemerintahan suatu wilayah sebagai akibat dari pendudukan wilyah itu. Mereka juga tidak akan kehilangan manfaat Konvensi ini karena persetujuan apapun yang diadakan antara penguasa-penguasa dari wilayah yang diduduki dan negara pendudukan, atau karena aneksasi seluruh atau sebagian dari wilayah oleh Penguasa Pendudukan.
Protokol Tambahan I 1977. terjadi pelanggaran terhadap Pasal 1 ayat (4), di mana dengan diperluasnya pendudukan asing Israel di atas tanah Palestina secara paksa dengan kekerasan bersenjata, merupakan pelanggaran terhadap hak menentukan nasib sendiri yang dimiliki oleh rakyat Palestina. Dan masih banyak pelanggaran lainnya yang sengaja tidak ditulis dalam bagian ini.
Berkenaan dengan masalah hak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination), maka telah jelas bahwa self-determination merupakan salah satu hak asasi manusia yang penting yang dilindungi oleh hukum internasional; dalam tulisan ini adalah dilindungi berdasarkan Pasal 1 ayat
(4) Protokol Tambahan I, 1977. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa hak menentukan nasib sendiri harus dilindungi selama terjadi pendudukan militer.
Menurut Israel Law Resource Center, sejak tahun 1967, Israel telah melakukan langkah-langkah secara fisik maupun yuridis yang mempengaruhi hak untuk menentukan nasib sendiri bangsa Palestina yang tinggal di wilayah Palestina, yakni :
Israel mengambil tanah Palestina dan merubah status hukum tanah tersebut serta mengisi wilayah tersebut dengan infra-struktur milik Israel yang mengakibatkan masyarakat Palestina terisolir dari dunia luar. Infrastruktur Israel tersebut meliputi tempat pemukiman penduduk sipil dari Israel, tempat perkemahan pasukan Israel, zona-zona penyangga, tempat-tempat penampungan orang asing, jalan raya yang hanya dapat digunakan oleh orang Israel, dan dinding pemisah yang dibangun ditengah-tengah komunitas masyarakat Palestina. Sementara akses ke dan dari daerah tersebut diawasi oleh pasukan Israel, di mana banyak sekali bukti-bukti yang mengemukakan adanya pelecehan dan pelanggaran HAM terhadap orang Palestina.


Berkenaaan dengan kejahatan kemanusian dan Ginosida

Pembunuhan yang disengaja, Penganiayaan dan perlakuan yang tidak manusiawi, , Perbuatan yang menyebabkan penderitaan dan luka berat membombardir rumah sakit anak bahkan orang-orang yang sedang menunaikan ibadah magrib di masjid sebelah utara jalur Gaza. Mengumpulkan anak-anak dan perempuan dalam satu rumah lalu diberondong dengan senjata. Serangan Udara dengan senjata kimia fosfhor ke warga sipil. membantai terhadap warga sipil yang dicurigai sebagai anggota Hamas adalah tindakan nyata sebauah kejahatan perang dengan melanggar ketentuan internasional yaitu:

Konvensi Jenewa I,II, antara lain Pembunuhan yang disengaja, Penganiayaan dan perlakuan yang tidak manusiawi, termasuk percobaan biologis, Perbuatan yang menyebabkan penderitaan besar atau luka berat atas badan atau kesehatan.

Protokol Tambahan I Setiap perbuatan yang dapat membahayakan kesehatan atau
integritas fisik maupun mental. Dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan kematian atau luka berat atas badan .

Konvensi Jenewa III Seseorang yang tidak terlibat aktif dalam pertempuran, termasuk anggota pasukan bersenjata yang meletakkan senjata dan meninggalkan tempat hors de combat (wilayah pertempuran) karena sakit, terluka, ditawan atau karena alasan lain, dalam keadaan apapun akan diberlakukan dengan manusiawi, tanpa membedakan ras, warna kulit, agama dan keyakinan, jenis kelamin, asal usul atau kekayaan, dan kriteria-kriteria serupa lainnya. Tindakan berikut ini dengan hormat tidak boleh dilakukan kepada orang-orang yang disebutkan diatas dimana pun dan kapan pun;

Lalu siapa Yang Bertanggung jawab atas tragedi kemanusian dan Pengadilana mana yang berwenang?

Tragedi kemanausian dijalur Gaza yang menewaskan kurang lebih 1000 dan diantaranya 300 masih anak-anak adalah buah dan kerja keras israel sabagai negara (state) tanggung jawab atas jatuhnya korban adalah pemerintah yang berkuasa dalam hal ini Perdana Menteri yang kemudian dilaksanakan oleh institusi mileter.

Ketika PBB telah menurunkan teamnya untuk mencari dan mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran atas kejahatan terhadap kemanusian telah cukup untuk dibawa ke Mahkamah Inernasioanal. Sebagaimana yang dinyatakan Prof Richard Falk, pakar hak asasi manusia PBB yang bertugas di wilayah Palestina dalam pernyataannya mengatakan bahwa:
para pimpinan pemerintahan Israel sudah layak diseret ke Pengadilan Kriminal Internasional karena telah menyebabkan krisis kemanusiaan di Jalur Gaza akibat blokade yang dilakukan Israel.
Menurut Falk, Israel pantas dituntut secara hukum dengan tuduhan melakukan "kejahatan terhadap kemanusiaan" dan Pengadilan Kriminal Internasional harus segera menentukan apakah para pemimpin Israel dan komandan militer rezim Zionis itu yang bertanggung jawab atas kebijakan blokade itu patut dituntut dan diadili karena telah melanngar.
Besarnya harapan Internasioanal untuk menyeret perdana Menteri Israel dan menteri perthanan. Menteri luar negeri, dan para jendaral Israel ke Mahkamah kejahatan Internasional sebagai orang yang bertanggung jawab atas tragedi kemanusian dijalur Gaza Sedang disisi lain Israel negara nonpihak (non state parties), adalah salah satu Negara yang menolak untuk meratifikasi Implementasi Statuta Roma yaitu yuridiksi ICC. Hal ini berbeda dengan beberapa kasus pelanggaran Ham Berat sepeti Bosnia dan rwanda yang penyelesaian melallui resolusi oleh DK PBB berdasarkan Bab VII UN Charter untuk bekas Yugoslavia dan Rwanda untuk segera membentuk International Criminal Tribunal for fomer Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR). Ke dua mahkamah kejahatan internasional tersebut bersifat temporer ad hoc. Sehingga untuk menyeret para pimpinan Israel ke sidang pengadilan DK PBB menempuh mekanisme pelimpahan wewenang kepada ICC dengan dasar bahwa terjadi beberapa kejahatan yang tercantum dalam statuta. Karena, pelimpahan itu merupakan wewenang DK PBB yang bersifat mengikat dan dapat dipaksakan atas seluruh negara dan pelaksaan yurisdiksi mahkamah menjadi bagian dari wewenang tersebut. Dunia Internasional melalui DK PBB dalam menyelesaikan pembantaian Isarael dijalur Gaza haruslah maksimal.
Menjadi persoalan adalah ketika Amerika memveto pelimpahan wewenang kepada ICC untuk mengadili para pepetinggi Israel atas Kejahatan perang Israel maka konkwensinya adalah para penjahat perang tersebut akan terbebas dari hukum dan hukuman (impunity) . Inilah yang menjadi kelemahan dalam menegakkan hukum Internasional.
Selanjutnya harapan dan tanggung jawab besar pada negara-negara yang tergabung dalam Dewan keaman PBB dapat mengambil sebuah langka efektif dan signifikan untuk mempengaruhi kebijakan politik Internasional Amerika. Demi memberikan pelajaran berharga kepada masa depan tentang nilai dan martabat kemanusian yang mutlak dimiliki oleh setiap manusia.
Sebuah langka yang luar biasa ketika telah terjadi, genjatan senjata antara Hamas dan Israel dan selanjunya berharap sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai kemanusian serta menentang segala bentuk penjajahan dimuka bumi sebagaimana yang termaktup dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar menjadi keharusan bagi bangsa kita untuk dapat mewujudkan perdamaian dunia, aktualisasi nilai terebut harus diwujudkan dengan langkah konkrit bangsa indonesia sebagai Anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB sebagai wujud dan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat Internasioanal pada umumnya dan rakyat Indonesia pada Khususnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUMBANGAN PEMIKIRAN SANGAT KAMI HARGAI