Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) - Indonesian Legal Aid & Human Rights Association
PBHI was the pioneer NGO in Indonesia with the main objective of protecting and promoting human rights.
Main objectives of PBHI was to develop a human rights social movement in Indonesia & to encourage the creation of a human rights community through legal aid, advocacy and campaign.
Selasa, 2007 September 04 Kalau orang membicarakan kompensasi kerugian dan biaya pemulihan lingkungan hidup, perspektif yang digunakan biasanya, berorientasi atas nama mereka yang jadi korban, atau lingkungan yang tercemar. Seakan-akan persoalan konpensasi adalah sekadar hanya untuk kepentingan korban, kemdian mewajibkan perusahaan pencemar untuk membayar atau bertanggung jawab. Perusahaan dipaksa untuk memberi santunan pada korban, dan membiayai pemulihan atas kerusakan yang ditimbulkan. Prinsip yang dipakai adalah prinsip hokum “damages awarded ini compensation to the suffering party,” atau karena ada kerusakan maka perusahaan harus memberikan ganti rugi.
Dalam hal ini orang ekonomi, cenderung akan menghitung dari sisi kerugian yang sudah ditumbulkan. Sedangkan para ahli hukum akan melihat, aturan-aturan apa yang sudah dilanggar, dan benda apa yang bias diterapkan, sehingga perusahaan pencemar harus dipaksa secara legal, atau dihukum untuk membayar ganti rugi. Jadinya, mengikuti pendekatan ini yang dilihat adalah kerugian riel yang sudah terjadi, dan menyiapkan aturan-aturan pemaksa yang harus diwujudkan dalam bentuk norma di luar perusahaan, atau para pengusaha. Aturan itu harus dipaksakan dari luar, oleh kekuatan luar juga, sebagai bagian dari hukuman. Konsekuensinya mekanisme ini senantiasa melibatkan banyak pihak, tergantung banyak pihak, dan juga membuka peluang “bermainnya” pihak-pihak yang merasa terkait, dalam upaya pemaksaan tersebut.
Padahal logika tuntutan hukum sebagai penyelesaian sengketa, senantiasa baru bias dilakukan apabila perusahaan itu benar-benar sudah melakukan kesalahan, atau kelalaian, dan benar-benar memunculkan kerugian bagi lingkungan atau masyarakat. Tidakkah kita perlu memulainya dengan perspektif yang berbeda, logika yang terbalik. Tidak saja hanya sekadar menyiapkan aturan untuk menghukum, tetapi justru menanamkan konsep subtainable business yang selalu menjunjung tinggi etika yang nantinya amat dibutuhka untuk membangun reputasi perusahaan.
Bagi perusahaan yang menjunjung tinggi etika bisiness, konpensasi terhadap kerugian kerusakan lingkungan, sejak awal telah menjadi komitmen, jauh hari harus sudah diantisipasi, dan kalau benar-benar terjadi, itu harus dilihat sebagai peluang perusahaan untuk menunjukkan reputasinya. Jadi konpensasi ataupun upaya menyelamatkan lingkungan yang mereka lakukan, tak lain adalah untuk kepentingan perusahaan itu sendiri dalam membangun reputasi untuk jangka panjang dan menjamin sustainable business mereka. Kalau hal semacam itu tidak mereka lakukan, bukan hanya lingkungan atau korban yang rugi, tapi perusahaan itu sendiri akan rugi, dalam bisnisnya secara jangka panjang.
Logika semacam ini penting kita sadari, dan harus diterapkan dan disosialisasikan, baik ke masyarakat, pemerintah, maupun pengusaha. Sebenarnya beberapa perusahaan professional, multinasional yang modern, telah menerapkannya sebagai bagian dari kerja public relations. Perusahaan-perusahaan Modern telah menghitung berbagai resiko yang akan terjadi, termasuk problem lingkungan.
Biasanya sejak awal, atas nama kepentingan perusahaan telah mengindentifikasi potential problem in advance. Tujuannya untuk kalkulasi jangka panjang, mereka menyiapkan bwerbagai scenario, mengantisipasi resiko, menangani masalah, dan menyelesaikan semua potensi buruk itu, terutama masalah lingkungan.
Masalahnhnya, sudahkah perusahaan-perusahan kita di sini melakukan hal demikian? Begitu pula sudahkan masyarakat dan pemerintah kita ikut mendorong dan mengharai etika business para pengusaha untuk “bertanggung jawab” atas nama etika businees, etika dan reputasi jangka panjang mereka? Jangan-jangan kalau ada perusahaan yang ingin menjalankan etika bisnis semacam itu, malah dipandang sebagai obyek yang bias dimanfaatkan sebagai “Cash Cow”?
Dari Prinsip Pollute Must Pay ke Prinsip Responding To Crisis
Sejalan dengan prinsipyang diajukan oleh ahli ekonomi EJ Mishan (The Cost of Economic Growth, 1964) berlakulah prinsip pencemaran harus membayar. Yaitu prinsip ganti rugi secara langsung (strict liability) tanpa mempersoalkan pencemar itu bersalah atau tidak. Kalau prinsip ini dianut, maka persoalan utamanya untuk itu adalah menghitung kerugian yang muncul, dan berapa yang harus ditanggung perusahaan. Dalam hal ini para akuntanlah yang berperan dalam penentuan biaya. Cost determine is more the forte of accountants than of engineers or economists” (Estes, 1973, 250). Para akuntan harus menghitung biaya langsung pada pencemar atas dasar tingkat pencemaran yang ditumbulkan. Biasanya kalangan hokum akan menambahkan pengenaan denda atau hokum atas terjadinya pencemaran itu. Tapi hitung-hitung teknisnya para akuntahlah yang biasanya melakukan audit terhadap pencemaran lingkungan.
Prinsip semacam ini tidak berarti lalu diabaikanl. Tetapi tidak menjadi satu-satunya solusi. Mekanisme “penghukuman” hanya menjadi solusi terakhir setelah prinsip-prinsip yang lain diberlakukan dan diusahakan terlebih dahulu. Itulah perlunya penerapan prinsip Responding to Crisis sebagai upaya penanaman etika bisnis. Dalam hal ini semua bentuk munculnya persoalan lingkungan, misalnya sengketa atau bencana, harus diperlakukan sebagai suatu krisis.
Peristiwa peristiwa buruk yang muncul secara mendadak itulah yang sering dikenal sebagai krisis. Yang menurut Robert L Heart dan Dan P Miller, didefinisikan sebagai an untimely but predictable event that has actual or potensial consequences for stakeholders interest as well as the reputation of the organization suffering the crisis (Millar & Heath, dalam Responding The Crisis, 2004: 2). Sedangkan Lerbinger mengartikan krisis sebagai berikut, “a crisis is an event that brings or has potentials for bringing, an organization into disrepute and imperils its future profitability (Lerbinger, 1997: 4). Jadi krisis merupakan suatu peristiwa yang terjadi di luar kebiasaan, tetapi biasa diperkirakan, dan peristiwa tersebut memiliki konsekuensi besar dan segera terhadp kepentingan semua orang yang terlibat (stakeholders), sekaligus berpengaruh pada reputasi.
Semua organisasi, atau perusahaan bias mengalami krisis dimana keadaan menjadi tidak normal. Bahkan disebutkan oleh Don W. Stacks dari University of Miami “No Corporation (or organization) is immune from crisis (Stacks, 2004: 37). Menurut Millar dan Heat, suatu krisis bisa terjadi karena suatu peristiwa, rangkaian peristiwa, baik karena factor human error, maupun karena factor alam. Karena itu krisis juga sering didefinisikan sebagai A ritical incident or a crisis is simply a sudden, unexpected event that poses an institutional htreat suggesting the need for rapic, high level decision making (Paschall, 1992). Jadi krisis merupakan peristiwa yang mengancam dan memerlukan respon dengan pengambilan keputusan yang cepat oleh pimpinan level atas.
Krisis sendiri ada yang datangnya tidak dapat ditolak (inevitable crisis), dan ada pula yang datangnya bias dicegah. Yang tidak bias ditolak karena berkaitan dengan proses alam. Jenis ini misalnya krisis yang disebabkan terjadinya bencana alam, kematian seseorang, atau kecelakaan yang tiba-tiba. Krisis bentuk bias dating tiba-tiba. Sedangkan bentuk krisis yang kedatangannya bias diminimalisir, dikurangi, atau bahkan dicegah, merupakan krisis yang munculnya karena perilaku manusia, human error, seperti konflik atau disputes, kesalahan manajemen, class action law suits, karena rumor, dan sebagainya.
Dari sisi yang lain krisis juga dapat dilihat dari aspek dimensinya. Dikatakan “a crisis is created by choises and formance that have technical and managerial dimensions” (Heath and millar, 2004: 6). Jadi ada dua dimensi krisis di sini. Yaitu dimensi teknis atau manejerial, dan dimensi komunikasi. Artinya suatu krisis bisa terjadi dimulai dari persoalan teknis atau manajerial, tapi bersamaan dengan itu muncul pula krisis komunikasi. Sebagai missal ketika terjadi bencana alam, maka krisis yang muncul adalah persoalan teknis, yaitu bagaimana menyelamatkan dan meminimalisir korban. Namun bersamaa dengan itu senantiasa ada krisis komunikasi, yaitu bagaimana menyampaikan komunikasi agar masyarakat bias menghadapinya dengan lebih tenang dan hati-hati. Juga bagaimana berkomunikasi untuk menyampaikan warning pada masyarakat lain, atau bagaimana pula menjelaskannya kepada public dan media, bahwa pihak yang bertanggung jawab tidak tinggal diam, melainkan bekerja dengan sungguh-sungguh untuk kepentingan rakyat, menanggulangi bencana.
Berkaitan dengan kemungkinan munculnya berbagai macam krisis ini, setiap perusahaan secara etis memang dituntut untuk mengantisipasinya. Perencanaan terhadap penanganan krisis baik dalam hal dimensi teknis maupun komunikasi hendaknya sudah dipersiapkan jauh hari sebelu krisis terjadi.
“A crisis plan is needed to prepare alla shorts of persons to know what todo in event of crisis. Preparation can entail at leas two key functions: looking for and reducing the likelihood that a crisis will occur, and communication with key audience and publics to prepare them for a crisis so that can be framed and addressed when it occurs. Messages in this context, may be used to alert persons to the sign of crisis so they can recognize it and emergency response measures to reduce its likely consequence for them’ (Heath & Millar, 2004: 6).
Namun kenyataannya menurut Millar sebagian besar organisasi menghadapi krisis tanpa prsiapan, atau hanya mengandalkan pengetahuan yang minim. Apalagi pemerintahan, kalangan birokrat merupakan titik paling lemah dalam hal kemampuan mengantisipasi atau melakukan tindakan pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya krisis. Padahal persiapan menghadapi krisis merupakan tuntutan modern terhadap organisasi dalam bentuk apapun. Karena itu antisipasi terhadap munculnya krisis sebenarnya mutlak diperlukan. Antisipasi bukan hanya untuk mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terjadinya krisis, melainkan hal itu juga untuk mengurangi munculnya krisis itu sendiri. “Because Anticipating crisis focuses on prevention, it helps to reduce uncertainties hwen crisis occur. Anticipating crisis then constitutes a vigilant response only when the process has manage to scrutinize all the unthinkable potential cause of technological failure/distress.” (Millar & Heath, 2004:81).
Suatu perencanaan memang dibutuhkan untuk mempersiapkan semua orang agar tahu apa yang harus dilakukan ketika krisis benar-benar terjadi. Persiapan tersebut setidaknya diperlukan untuk mengawasi dan mengurangi kemungkinan terjadinya krisis tersebut. Sedangkan pelibatan public, tujuannya untuk mempersiapkan mereka menghadapi krisis sehingga sudah terbingkai dan dapat mengetahui apa yang harus dilakukan ketika krisis benar-benar terjadi. Dalam hal ini pesan yang disampaikan dapat digunakan untuk memberi peringatan pada orang-orang mengenai tanda-tanda krisis sehingga mereka dapat mengenalinya serta menanggapinya secara dini untuk mengurangi kemungkian dampaknya terhadap mereka.
Konpensasi dan Kasus Lapindo
Dalam kasus Lumpur Panas di Porong Sidoarjo, kelompok Perusahaan Lapindo, sebenarnya sudah menunjukkan memiliki etika corporate responsibility dalam hal menangani korban semburan lumpur. Mereka nampak sungguh-sungguh ingin menghentikan luapan lumpur itu. Mau mengeluarkan dana untuk melokalisasi lumpur dengan pond pond dan tanggul-tanggul. Lapindo dengan kelompok Bakrienya juga menyediakan konpensasi bagi pengungsi, bahkan dana relokasi dengan membeli tanah dan rumah yang terendam.
Bisa jadi Perusahaan ini sadar tentang arti penting reputasi untuk sustainable business. Apa yang mereka lakukan dengan mengeluarkan dana yang begitu besar selama banjir lumpur di Porong merupakan bukti hal tersebut. Besar kemungkinan, upaya mereka selama ini bukan karena persoalan “ketakutan terhdap sanksi hokum,” tapi lebih karena persoalan reputasi tadi. Mendudukkan perspektif corporate responsibility untuk menjaga reputasi amatlah penting. Perspektif ini perlu dihargai dan dibudayakan, karena jelas-jelas konpensasinya jauh lebih menguntungkan dari pada sekadar tuntutan kewajiban hokum. Untuk membangun reputasi, sebuah perusahaan bias melakukan apa saja, dengan dana tak terbatas, sepanjang itu mereka piker nantinya akan menguntungkan dalam jangka panjang. Sementara kalau sekadar memenuhi tuntutan aturan hokum, perusahaan bias melakukan kewajiban yang hanya minimalis. Dana yang harus dikeluarkan perusahaan malah bias tidak banyak, dan keluarnya-pun bias menunggu keputusan final pengadilan. Itu berarti menyengsarakan public atau korbannya.
Lebih lagi, menghitung kerugian suatu bencana lingkungan tidaklha mudah. Terutama kalau harus menghitung biaya sosialnya. Upaya para ahli ekonomi untuk menilai biaya social ke dalam nilai uang masih kesulitan, karena beberapa sebab. Menurut Wuri Handayani (dalam Makalah yang disampaikan dalam Diskusi Panen di Unair, 20 Juli 2006). Pertama, rumitnya sebab akibat persoalan pencemaran lingkungan. Dimana suatu kerusakan lingkungan biasanya dikarenakan variable yang kompleks, tidak tunggal, dan bukan hanya kesalahan satu pihak. Kedua, persoalan social cost amat tergantung dari persepsi dan kesadaran masyarakat terhadap persoalan tersebut. Ketiga, adanya biaya social yang bersifat intangible, yang sulit diukur dalam bentuk uang, misalnya ketadaknyamanan para pengguna tol Surabaya-Gempol, Kerugian para importer, hilangnya rasa kesejahteraan dari para pengungsi karena harus pindah, gangguan pendidikan dan sebagainya.
Jadi dalam menghadapi krisis atau bencana kelompok Lapindo sudah cukup menerapkan corporate responsibility. Dan perspektif semacam ini harus dihargai, dan dikembangkan untuk kasus-kasus yang lain. Pemerintah dan masyarakat harus mengihindarkan diri munculnya kesan justru menempatkan Lapindo dan kelompok Bakrie sebagai sapi perah (Cash Cow), hanya karena mereka siap mendanai berbagai upaya penanggulangan krisis.
Tapi, Lapindi sendiri sebenarnya telah melakkan perbuatan yang amat fatal. Khususnya pada fase sebelum munculnya krisis atau bencana. Upaya kehati-hatian pencegahan terjadinya krisis tidak dilakukan jauh-jauh hari sebelum adanya semburan lumpur. Banyak bukti, menunjukkan Lapindo dan BP Migas tidakpernah mensosialisasikan kepada public, tentang apa yang akan atau sedang mereka lakukan. Makanya public cenderung mempersepsi bahwa mereka diabaikan. Kedua Lapindo juga tidak mengantisipasi, atau melakukan kehati-hatian akan kemungkinan terjadinya bencana lumpur seperti sekarang ini. Akibatnya tuduhan atau “munculnya bukti” human error dalam pengeboran menjadi alas an yang amat kuat untuk “menghukum” Lapindo dengan keharusan membayar ganti rugi, denda dan penjara. Intinya Lapindo amat terlambat ketika memberlakukan konsep corporate responsibility. Tapi itu tentu better late than never, lebih baik terlamat dari pada tidak sama sekali.
PERJUANGAN MENEGAKKAN PENGHARGAAN HAK ASAZI MANUSIA OLEH NEGARA DENGAN BERBAGAI INSTITUSINYA MASIH MENJADI MIMPI YANG HARUS DIWUJUDKAN. KONSOLIDASI DAN PROGRESIFITAS SESUATU YG MESTI KETIKA OKNUM APARATUR YANG MENGATASNAMAKAN NEGARA MENINDAS DAN MENYIKSA MELALUI TINDAKAN DAN KEKUASAAN ADMINISTRATIF YG NYATA-NYATA BERSUMBER DARI RAKYAT...!!!
Keadilan Dan Pemulihan Lingkungan
BalasHapusSelasa, 2007 September 04
Kalau orang membicarakan kompensasi kerugian dan biaya pemulihan lingkungan
hidup, perspektif yang digunakan biasanya, berorientasi atas nama mereka yang
jadi korban, atau lingkungan yang tercemar. Seakan-akan persoalan konpensasi
adalah sekadar hanya untuk kepentingan korban, kemdian mewajibkan perusahaan
pencemar untuk membayar atau bertanggung jawab. Perusahaan dipaksa untuk memberi
santunan pada korban, dan membiayai pemulihan atas kerusakan yang ditimbulkan.
Prinsip yang dipakai adalah prinsip hokum “damages awarded ini compensation to
the suffering party,” atau karena ada kerusakan maka perusahaan harus memberikan
ganti rugi.
Dalam hal ini orang ekonomi, cenderung akan menghitung dari sisi kerugian yang
sudah ditumbulkan. Sedangkan para ahli hukum akan melihat, aturan-aturan apa
yang sudah dilanggar, dan benda apa yang bias diterapkan, sehingga perusahaan
pencemar harus dipaksa secara legal, atau dihukum untuk membayar ganti rugi.
Jadinya, mengikuti pendekatan ini yang dilihat adalah kerugian riel yang sudah
terjadi, dan menyiapkan aturan-aturan pemaksa yang harus diwujudkan dalam bentuk
norma di luar perusahaan, atau para pengusaha. Aturan itu harus dipaksakan dari
luar, oleh kekuatan luar juga, sebagai bagian dari hukuman. Konsekuensinya
mekanisme ini senantiasa melibatkan banyak pihak, tergantung banyak pihak, dan
juga membuka peluang “bermainnya” pihak-pihak yang merasa terkait, dalam upaya
pemaksaan tersebut.
Padahal logika tuntutan hukum sebagai penyelesaian sengketa, senantiasa baru
bias dilakukan apabila perusahaan itu benar-benar sudah melakukan kesalahan,
atau kelalaian, dan benar-benar memunculkan kerugian bagi lingkungan atau
masyarakat. Tidakkah kita perlu memulainya dengan perspektif yang berbeda,
logika yang terbalik. Tidak saja hanya sekadar menyiapkan aturan untuk
menghukum, tetapi justru menanamkan konsep subtainable business yang selalu
menjunjung tinggi etika yang nantinya amat dibutuhka untuk membangun reputasi
perusahaan.
Bagi perusahaan yang menjunjung tinggi etika bisiness, konpensasi terhadap
kerugian kerusakan lingkungan, sejak awal telah menjadi komitmen, jauh hari
harus sudah diantisipasi, dan kalau benar-benar terjadi, itu harus dilihat
sebagai peluang perusahaan untuk menunjukkan reputasinya. Jadi konpensasi
ataupun upaya menyelamatkan lingkungan yang mereka lakukan, tak lain adalah
untuk kepentingan perusahaan itu sendiri dalam membangun reputasi untuk jangka
panjang dan menjamin sustainable business mereka. Kalau hal semacam itu tidak
mereka lakukan, bukan hanya lingkungan atau korban yang rugi, tapi perusahaan
itu sendiri akan rugi, dalam bisnisnya secara jangka panjang.
Logika semacam ini penting kita sadari, dan harus diterapkan dan
disosialisasikan, baik ke masyarakat, pemerintah, maupun pengusaha. Sebenarnya
beberapa perusahaan professional, multinasional yang modern, telah menerapkannya
sebagai bagian dari kerja public relations. Perusahaan-perusahaan Modern telah
menghitung berbagai resiko yang akan terjadi, termasuk problem lingkungan.
Biasanya sejak awal, atas nama kepentingan perusahaan telah mengindentifikasi
potential problem in advance. Tujuannya untuk kalkulasi jangka panjang, mereka
menyiapkan bwerbagai scenario, mengantisipasi resiko, menangani masalah, dan
menyelesaikan semua potensi buruk itu, terutama masalah lingkungan.
Masalahnhnya, sudahkah perusahaan-perusahan kita di sini melakukan hal demikian?
Begitu pula sudahkan masyarakat dan pemerintah kita ikut mendorong dan mengharai
etika business para pengusaha untuk “bertanggung jawab” atas nama etika
businees, etika dan reputasi jangka panjang mereka? Jangan-jangan kalau ada
perusahaan yang ingin menjalankan etika bisnis semacam itu, malah dipandang
sebagai obyek yang bias dimanfaatkan sebagai “Cash Cow”?
Dari Prinsip Pollute Must Pay ke Prinsip Responding To Crisis
Sejalan dengan prinsipyang diajukan oleh ahli ekonomi EJ Mishan (The Cost of
Economic Growth, 1964) berlakulah prinsip pencemaran harus membayar. Yaitu
prinsip ganti rugi secara langsung (strict liability) tanpa mempersoalkan
pencemar itu bersalah atau tidak. Kalau prinsip ini dianut, maka persoalan
utamanya untuk itu adalah menghitung kerugian yang muncul, dan berapa yang harus
ditanggung perusahaan. Dalam hal ini para akuntanlah yang berperan dalam
penentuan biaya. Cost determine is more the forte of accountants than of
engineers or economists” (Estes, 1973, 250). Para akuntan harus menghitung biaya
langsung pada pencemar atas dasar tingkat pencemaran yang ditumbulkan. Biasanya
kalangan hokum akan menambahkan pengenaan denda atau hokum atas terjadinya
pencemaran itu. Tapi hitung-hitung teknisnya para akuntahlah yang biasanya
melakukan audit terhadap pencemaran lingkungan.
Prinsip semacam ini tidak berarti lalu diabaikanl. Tetapi tidak menjadi
satu-satunya solusi. Mekanisme “penghukuman” hanya menjadi solusi terakhir
setelah prinsip-prinsip yang lain diberlakukan dan diusahakan terlebih dahulu.
Itulah perlunya penerapan prinsip Responding to Crisis sebagai upaya penanaman
etika bisnis. Dalam hal ini semua bentuk munculnya persoalan lingkungan,
misalnya sengketa atau bencana, harus diperlakukan sebagai suatu krisis.
Peristiwa peristiwa buruk yang muncul secara mendadak itulah yang sering
dikenal sebagai krisis. Yang menurut Robert L Heart dan Dan P Miller,
didefinisikan sebagai an untimely but predictable event that has actual or
potensial consequences for stakeholders interest as well as the reputation of
the organization suffering the crisis (Millar & Heath, dalam Responding The
Crisis, 2004: 2). Sedangkan Lerbinger mengartikan krisis sebagai berikut, “a
crisis is an event that brings or has potentials for bringing, an organization
into disrepute and imperils its future profitability (Lerbinger, 1997: 4). Jadi
krisis merupakan suatu peristiwa yang terjadi di luar kebiasaan, tetapi biasa
diperkirakan, dan peristiwa tersebut memiliki konsekuensi besar dan segera
terhadp kepentingan semua orang yang terlibat (stakeholders), sekaligus
berpengaruh pada reputasi.
Semua organisasi, atau perusahaan bias mengalami krisis dimana keadaan menjadi
tidak normal. Bahkan disebutkan oleh Don W. Stacks dari University of Miami “No
Corporation (or organization) is immune from crisis (Stacks, 2004: 37). Menurut
Millar dan Heat, suatu krisis bisa terjadi karena suatu peristiwa, rangkaian
peristiwa, baik karena factor human error, maupun karena factor alam. Karena itu
krisis juga sering didefinisikan sebagai A ritical incident or a crisis is
simply a sudden, unexpected event that poses an institutional htreat suggesting
the need for rapic, high level decision making (Paschall, 1992). Jadi krisis
merupakan peristiwa yang mengancam dan memerlukan respon dengan pengambilan
keputusan yang cepat oleh pimpinan level atas.
Krisis sendiri ada yang datangnya tidak dapat ditolak (inevitable crisis), dan
ada pula yang datangnya bias dicegah. Yang tidak bias ditolak karena berkaitan
dengan proses alam. Jenis ini misalnya krisis yang disebabkan terjadinya bencana
alam, kematian seseorang, atau kecelakaan yang tiba-tiba. Krisis bentuk bias
dating tiba-tiba. Sedangkan bentuk krisis yang kedatangannya bias diminimalisir,
dikurangi, atau bahkan dicegah, merupakan krisis yang munculnya karena perilaku
manusia, human error, seperti konflik atau disputes, kesalahan manajemen, class
action law suits, karena rumor, dan sebagainya.
Dari sisi yang lain krisis juga dapat dilihat dari aspek dimensinya. Dikatakan
“a crisis is created by choises and formance that have technical and managerial
dimensions” (Heath and millar, 2004: 6). Jadi ada dua dimensi krisis di sini.
Yaitu dimensi teknis atau manejerial, dan dimensi komunikasi. Artinya suatu
krisis bisa terjadi dimulai dari persoalan teknis atau manajerial, tapi
bersamaan dengan itu muncul pula krisis komunikasi. Sebagai missal ketika
terjadi bencana alam, maka krisis yang muncul adalah persoalan teknis, yaitu
bagaimana menyelamatkan dan meminimalisir korban. Namun bersamaa dengan itu
senantiasa ada krisis komunikasi, yaitu bagaimana menyampaikan komunikasi agar
masyarakat bias menghadapinya dengan lebih tenang dan hati-hati. Juga bagaimana
berkomunikasi untuk menyampaikan warning pada masyarakat lain, atau bagaimana
pula menjelaskannya kepada public dan media, bahwa pihak yang bertanggung jawab
tidak tinggal diam, melainkan bekerja dengan sungguh-sungguh untuk kepentingan
rakyat, menanggulangi bencana.
Berkaitan dengan kemungkinan munculnya berbagai macam krisis ini, setiap
perusahaan secara etis memang dituntut untuk mengantisipasinya. Perencanaan
terhadap penanganan krisis baik dalam hal dimensi teknis maupun komunikasi
hendaknya sudah dipersiapkan jauh hari sebelu krisis terjadi.
“A crisis plan is needed to prepare alla shorts of persons to know what todo in
event of crisis. Preparation can entail at leas two key functions: looking for
and reducing the likelihood that a crisis will occur, and communication with key
audience and publics to prepare them for a crisis so that can be framed and
addressed when it occurs. Messages in this context, may be used to alert persons
to the sign of crisis so they can recognize it and emergency response measures
to reduce its likely consequence for them’ (Heath & Millar, 2004: 6).
Namun kenyataannya menurut Millar sebagian besar organisasi menghadapi krisis
tanpa prsiapan, atau hanya mengandalkan pengetahuan yang minim. Apalagi
pemerintahan, kalangan birokrat merupakan titik paling lemah dalam hal kemampuan
mengantisipasi atau melakukan tindakan pencegahan terhadap kemungkinan
terjadinya krisis. Padahal persiapan menghadapi krisis merupakan tuntutan modern
terhadap organisasi dalam bentuk apapun. Karena itu antisipasi terhadap
munculnya krisis sebenarnya mutlak diperlukan. Antisipasi bukan hanya untuk
mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terjadinya krisis, melainkan hal itu
juga untuk mengurangi munculnya krisis itu sendiri. “Because Anticipating crisis
focuses on prevention, it helps to reduce uncertainties hwen crisis occur.
Anticipating crisis then constitutes a vigilant response only when the process
has manage to scrutinize all the unthinkable potential cause of technological
failure/distress.” (Millar & Heath, 2004:81).
Suatu perencanaan memang dibutuhkan untuk mempersiapkan semua orang agar tahu
apa yang harus dilakukan ketika krisis benar-benar terjadi. Persiapan tersebut
setidaknya diperlukan untuk mengawasi dan mengurangi kemungkinan terjadinya
krisis tersebut. Sedangkan pelibatan public, tujuannya untuk mempersiapkan
mereka menghadapi krisis sehingga sudah terbingkai dan dapat mengetahui apa yang
harus dilakukan ketika krisis benar-benar terjadi. Dalam hal ini pesan yang
disampaikan dapat digunakan untuk memberi peringatan pada orang-orang mengenai
tanda-tanda krisis sehingga mereka dapat mengenalinya serta menanggapinya secara
dini untuk mengurangi kemungkian dampaknya terhadap mereka.
Konpensasi dan Kasus Lapindo
Dalam kasus Lumpur Panas di Porong Sidoarjo, kelompok Perusahaan Lapindo,
sebenarnya sudah menunjukkan memiliki etika corporate responsibility dalam hal
menangani korban semburan lumpur. Mereka nampak sungguh-sungguh ingin
menghentikan luapan lumpur itu. Mau mengeluarkan dana untuk melokalisasi lumpur
dengan pond pond dan tanggul-tanggul. Lapindo dengan kelompok Bakrienya juga
menyediakan konpensasi bagi pengungsi, bahkan dana relokasi dengan membeli tanah
dan rumah yang terendam.
Bisa jadi Perusahaan ini sadar tentang arti penting reputasi untuk sustainable
business. Apa yang mereka lakukan dengan mengeluarkan dana yang begitu besar
selama banjir lumpur di Porong merupakan bukti hal tersebut. Besar kemungkinan,
upaya mereka selama ini bukan karena persoalan “ketakutan terhdap sanksi hokum,”
tapi lebih karena persoalan reputasi tadi. Mendudukkan perspektif corporate
responsibility untuk menjaga reputasi amatlah penting. Perspektif ini perlu
dihargai dan dibudayakan, karena jelas-jelas konpensasinya jauh lebih
menguntungkan dari pada sekadar tuntutan kewajiban hokum. Untuk membangun
reputasi, sebuah perusahaan bias melakukan apa saja, dengan dana tak terbatas,
sepanjang itu mereka piker nantinya akan menguntungkan dalam jangka panjang.
Sementara kalau sekadar memenuhi tuntutan aturan hokum, perusahaan bias
melakukan kewajiban yang hanya minimalis. Dana yang harus dikeluarkan perusahaan
malah bias tidak banyak, dan keluarnya-pun bias menunggu keputusan final
pengadilan. Itu berarti menyengsarakan public atau korbannya.
Lebih lagi, menghitung kerugian suatu bencana lingkungan tidaklha mudah.
Terutama kalau harus menghitung biaya sosialnya. Upaya para ahli ekonomi untuk
menilai biaya social ke dalam nilai uang masih kesulitan, karena beberapa sebab.
Menurut Wuri Handayani (dalam Makalah yang disampaikan dalam Diskusi Panen di
Unair, 20 Juli 2006). Pertama, rumitnya sebab akibat persoalan pencemaran
lingkungan. Dimana suatu kerusakan lingkungan biasanya dikarenakan variable yang
kompleks, tidak tunggal, dan bukan hanya kesalahan satu pihak. Kedua, persoalan
social cost amat tergantung dari persepsi dan kesadaran masyarakat terhadap
persoalan tersebut. Ketiga, adanya biaya social yang bersifat intangible, yang
sulit diukur dalam bentuk uang, misalnya ketadaknyamanan para pengguna tol
Surabaya-Gempol, Kerugian para importer, hilangnya rasa kesejahteraan dari para
pengungsi karena harus pindah, gangguan pendidikan dan sebagainya.
Jadi dalam menghadapi krisis atau bencana kelompok Lapindo sudah cukup
menerapkan corporate responsibility. Dan perspektif semacam ini harus dihargai,
dan dikembangkan untuk kasus-kasus yang lain. Pemerintah dan masyarakat harus
mengihindarkan diri munculnya kesan justru menempatkan Lapindo dan kelompok
Bakrie sebagai sapi perah (Cash Cow), hanya karena mereka siap mendanai berbagai
upaya penanggulangan krisis.
Tapi, Lapindi sendiri sebenarnya telah melakkan perbuatan yang amat fatal.
Khususnya pada fase sebelum munculnya krisis atau bencana. Upaya kehati-hatian
pencegahan terjadinya krisis tidak dilakukan jauh-jauh hari sebelum adanya
semburan lumpur. Banyak bukti, menunjukkan Lapindo dan BP Migas tidakpernah
mensosialisasikan kepada public, tentang apa yang akan atau sedang mereka
lakukan. Makanya public cenderung mempersepsi bahwa mereka diabaikan. Kedua
Lapindo juga tidak mengantisipasi, atau melakukan kehati-hatian akan kemungkinan
terjadinya bencana lumpur seperti sekarang ini. Akibatnya tuduhan atau
“munculnya bukti” human error dalam pengeboran menjadi alas an yang amat kuat
untuk “menghukum” Lapindo dengan keharusan membayar ganti rugi, denda dan
penjara. Intinya Lapindo amat terlambat ketika memberlakukan konsep corporate
responsibility. Tapi itu tentu better late than never, lebih baik terlamat dari
pada tidak sama sekali.
Diposting oleh GAMACCA iNSTITUTE di 02:21
http://gamacca.blogspot.com/2007/09/keadilan-dan-pemulihan-lingkungan.html