Minggu, 28 Desember 2008




Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) - Indonesian Legal Aid & Human Rights Association


PBHI was the pioneer NGO in Indonesia with the main objective of protecting and promoting human rights.
Main objectives of PBHI was to develop a human rights social movement in Indonesia & to encourage the creation of a human rights community through legal aid, advocacy and campaign.

1 komentar:

  1. Keadilan Dan Pemulihan Lingkungan

    Selasa, 2007 September 04
    Kalau orang membicarakan kompensasi kerugian dan biaya pemulihan lingkungan
    hidup, perspektif yang digunakan biasanya, berorientasi atas nama mereka yang
    jadi korban, atau lingkungan yang tercemar. Seakan-akan persoalan konpensasi
    adalah sekadar hanya untuk kepentingan korban, kemdian mewajibkan perusahaan
    pencemar untuk membayar atau bertanggung jawab. Perusahaan dipaksa untuk memberi
    santunan pada korban, dan membiayai pemulihan atas kerusakan yang ditimbulkan.
    Prinsip yang dipakai adalah prinsip hokum “damages awarded ini compensation to
    the suffering party,” atau karena ada kerusakan maka perusahaan harus memberikan
    ganti rugi.

    Dalam hal ini orang ekonomi, cenderung akan menghitung dari sisi kerugian yang
    sudah ditumbulkan. Sedangkan para ahli hukum akan melihat, aturan-aturan apa
    yang sudah dilanggar, dan benda apa yang bias diterapkan, sehingga perusahaan
    pencemar harus dipaksa secara legal, atau dihukum untuk membayar ganti rugi.
    Jadinya, mengikuti pendekatan ini yang dilihat adalah kerugian riel yang sudah
    terjadi, dan menyiapkan aturan-aturan pemaksa yang harus diwujudkan dalam bentuk
    norma di luar perusahaan, atau para pengusaha. Aturan itu harus dipaksakan dari
    luar, oleh kekuatan luar juga, sebagai bagian dari hukuman. Konsekuensinya
    mekanisme ini senantiasa melibatkan banyak pihak, tergantung banyak pihak, dan
    juga membuka peluang “bermainnya” pihak-pihak yang merasa terkait, dalam upaya
    pemaksaan tersebut.

    Padahal logika tuntutan hukum sebagai penyelesaian sengketa, senantiasa baru
    bias dilakukan apabila perusahaan itu benar-benar sudah melakukan kesalahan,
    atau kelalaian, dan benar-benar memunculkan kerugian bagi lingkungan atau
    masyarakat. Tidakkah kita perlu memulainya dengan perspektif yang berbeda,
    logika yang terbalik. Tidak saja hanya sekadar menyiapkan aturan untuk
    menghukum, tetapi justru menanamkan konsep subtainable business yang selalu
    menjunjung tinggi etika yang nantinya amat dibutuhka untuk membangun reputasi
    perusahaan.

    Bagi perusahaan yang menjunjung tinggi etika bisiness, konpensasi terhadap
    kerugian kerusakan lingkungan, sejak awal telah menjadi komitmen, jauh hari
    harus sudah diantisipasi, dan kalau benar-benar terjadi, itu harus dilihat
    sebagai peluang perusahaan untuk menunjukkan reputasinya. Jadi konpensasi
    ataupun upaya menyelamatkan lingkungan yang mereka lakukan, tak lain adalah
    untuk kepentingan perusahaan itu sendiri dalam membangun reputasi untuk jangka
    panjang dan menjamin sustainable business mereka. Kalau hal semacam itu tidak
    mereka lakukan, bukan hanya lingkungan atau korban yang rugi, tapi perusahaan
    itu sendiri akan rugi, dalam bisnisnya secara jangka panjang.

    Logika semacam ini penting kita sadari, dan harus diterapkan dan
    disosialisasikan, baik ke masyarakat, pemerintah, maupun pengusaha. Sebenarnya
    beberapa perusahaan professional, multinasional yang modern, telah menerapkannya
    sebagai bagian dari kerja public relations. Perusahaan-perusahaan Modern telah
    menghitung berbagai resiko yang akan terjadi, termasuk problem lingkungan.

    Biasanya sejak awal, atas nama kepentingan perusahaan telah mengindentifikasi
    potential problem in advance. Tujuannya untuk kalkulasi jangka panjang, mereka
    menyiapkan bwerbagai scenario, mengantisipasi resiko, menangani masalah, dan
    menyelesaikan semua potensi buruk itu, terutama masalah lingkungan.

    Masalahnhnya, sudahkah perusahaan-perusahan kita di sini melakukan hal demikian?
    Begitu pula sudahkan masyarakat dan pemerintah kita ikut mendorong dan mengharai
    etika business para pengusaha untuk “bertanggung jawab” atas nama etika
    businees, etika dan reputasi jangka panjang mereka? Jangan-jangan kalau ada
    perusahaan yang ingin menjalankan etika bisnis semacam itu, malah dipandang
    sebagai obyek yang bias dimanfaatkan sebagai “Cash Cow”?

    Dari Prinsip Pollute Must Pay ke Prinsip Responding To Crisis

    Sejalan dengan prinsipyang diajukan oleh ahli ekonomi EJ Mishan (The Cost of
    Economic Growth, 1964) berlakulah prinsip pencemaran harus membayar. Yaitu
    prinsip ganti rugi secara langsung (strict liability) tanpa mempersoalkan
    pencemar itu bersalah atau tidak. Kalau prinsip ini dianut, maka persoalan
    utamanya untuk itu adalah menghitung kerugian yang muncul, dan berapa yang harus
    ditanggung perusahaan. Dalam hal ini para akuntanlah yang berperan dalam
    penentuan biaya. Cost determine is more the forte of accountants than of
    engineers or economists” (Estes, 1973, 250). Para akuntan harus menghitung biaya
    langsung pada pencemar atas dasar tingkat pencemaran yang ditumbulkan. Biasanya
    kalangan hokum akan menambahkan pengenaan denda atau hokum atas terjadinya
    pencemaran itu. Tapi hitung-hitung teknisnya para akuntahlah yang biasanya
    melakukan audit terhadap pencemaran lingkungan.

    Prinsip semacam ini tidak berarti lalu diabaikanl. Tetapi tidak menjadi
    satu-satunya solusi. Mekanisme “penghukuman” hanya menjadi solusi terakhir
    setelah prinsip-prinsip yang lain diberlakukan dan diusahakan terlebih dahulu.
    Itulah perlunya penerapan prinsip Responding to Crisis sebagai upaya penanaman
    etika bisnis. Dalam hal ini semua bentuk munculnya persoalan lingkungan,
    misalnya sengketa atau bencana, harus diperlakukan sebagai suatu krisis.

    Peristiwa ­peristiwa buruk yang muncul secara mendadak itulah yang sering
    dikenal sebagai krisis. Yang menurut Robert L Heart dan Dan P Miller,
    didefinisikan sebagai an untimely but predictable event that has actual or
    potensial consequences for stakeholders interest as well as the reputation of
    the organization suffering the crisis (Millar & Heath, dalam Responding The
    Crisis, 2004: 2). Sedangkan Lerbinger mengartikan krisis sebagai berikut, “a
    crisis is an event that brings or has potentials for bringing, an organization
    into disrepute and imperils its future profitability (Lerbinger, 1997: 4). Jadi
    krisis merupakan suatu peristiwa yang terjadi di luar kebiasaan, tetapi biasa
    diperkirakan, dan peristiwa tersebut memiliki konsekuensi besar dan segera
    terhadp kepentingan semua orang yang terlibat (stakeholders), sekaligus
    berpengaruh pada reputasi.

    Semua organisasi, atau perusahaan bias mengalami krisis dimana keadaan menjadi
    tidak normal. Bahkan disebutkan oleh Don W. Stacks dari University of Miami “No
    Corporation (or organization) is immune from crisis (Stacks, 2004: 37). Menurut
    Millar dan Heat, suatu krisis bisa terjadi karena suatu peristiwa, rangkaian
    peristiwa, baik karena factor human error, maupun karena factor alam. Karena itu
    krisis juga sering didefinisikan sebagai A ritical incident or a crisis is
    simply a sudden, unexpected event that poses an institutional htreat suggesting
    the need for rapic, high level decision making (Paschall, 1992). Jadi krisis
    merupakan peristiwa yang mengancam dan memerlukan respon dengan pengambilan
    keputusan yang cepat oleh pimpinan level atas.

    Krisis sendiri ada yang datangnya tidak dapat ditolak (inevitable crisis), dan
    ada pula yang datangnya bias dicegah. Yang tidak bias ditolak karena berkaitan
    dengan proses alam. Jenis ini misalnya krisis yang disebabkan terjadinya bencana
    alam, kematian seseorang, atau kecelakaan yang tiba-tiba. Krisis bentuk bias
    dating tiba-tiba. Sedangkan bentuk krisis yang kedatangannya bias diminimalisir,
    dikurangi, atau bahkan dicegah, merupakan krisis yang munculnya karena perilaku
    manusia, human error, seperti konflik atau disputes, kesalahan manajemen, class
    action law suits, karena rumor, dan sebagainya.

    Dari sisi yang lain krisis juga dapat dilihat dari aspek dimensinya. Dikatakan
    “a crisis is created by choises and formance that have technical and managerial
    dimensions” (Heath and millar, 2004: 6). Jadi ada dua dimensi krisis di sini.
    Yaitu dimensi teknis atau manejerial, dan dimensi komunikasi. Artinya suatu
    krisis bisa terjadi dimulai dari persoalan teknis atau manajerial, tapi
    bersamaan dengan itu muncul pula krisis komunikasi. Sebagai missal ketika
    terjadi bencana alam, maka krisis yang muncul adalah persoalan teknis, yaitu
    bagaimana menyelamatkan dan meminimalisir korban. Namun bersamaa dengan itu
    senantiasa ada krisis komunikasi, yaitu bagaimana menyampaikan komunikasi agar
    masyarakat bias menghadapinya dengan lebih tenang dan hati-hati. Juga bagaimana
    berkomunikasi untuk menyampaikan warning pada masyarakat lain, atau bagaimana
    pula menjelaskannya kepada public dan media, bahwa pihak yang bertanggung jawab
    tidak tinggal diam, melainkan bekerja dengan sungguh-sungguh untuk kepentingan
    rakyat, menanggulangi bencana.

    Berkaitan dengan kemungkinan munculnya berbagai macam krisis ini, setiap
    perusahaan secara etis memang dituntut untuk mengantisipasinya. Perencanaan
    terhadap penanganan krisis baik dalam hal dimensi teknis maupun komunikasi
    hendaknya sudah dipersiapkan jauh hari sebelu krisis terjadi.

    “A crisis plan is needed to prepare alla shorts of persons to know what todo in
    event of crisis. Preparation can entail at leas two key functions: looking for
    and reducing the likelihood that a crisis will occur, and communication with key
    audience and publics to prepare them for a crisis so that can be framed and
    addressed when it occurs. Messages in this context, may be used to alert persons
    to the sign of crisis so they can recognize it and emergency response measures
    to reduce its likely consequence for them’ (Heath & Millar, 2004: 6).

    Namun kenyataannya menurut Millar sebagian besar organisasi menghadapi krisis
    tanpa prsiapan, atau hanya mengandalkan pengetahuan yang minim. Apalagi
    pemerintahan, kalangan birokrat merupakan titik paling lemah dalam hal kemampuan
    mengantisipasi atau melakukan tindakan pencegahan terhadap kemungkinan
    terjadinya krisis. Padahal persiapan menghadapi krisis merupakan tuntutan modern
    terhadap organisasi dalam bentuk apapun. Karena itu antisipasi terhadap
    munculnya krisis sebenarnya mutlak diperlukan. Antisipasi bukan hanya untuk
    mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terjadinya krisis, melainkan hal itu
    juga untuk mengurangi munculnya krisis itu sendiri. “Because Anticipating crisis
    focuses on prevention, it helps to reduce uncertainties hwen crisis occur.
    Anticipating crisis then constitutes a vigilant response only when the process
    has manage to scrutinize all the unthinkable potential cause of technological
    failure/distress.” (Millar & Heath, 2004:81).

    Suatu perencanaan memang dibutuhkan untuk mempersiapkan semua orang agar tahu
    apa yang harus dilakukan ketika krisis benar-benar terjadi. Persiapan tersebut
    setidaknya diperlukan untuk mengawasi dan mengurangi kemungkinan terjadinya
    krisis tersebut. Sedangkan pelibatan public, tujuannya untuk mempersiapkan
    mereka menghadapi krisis sehingga sudah terbingkai dan dapat mengetahui apa yang
    harus dilakukan ketika krisis benar-benar terjadi. Dalam hal ini pesan yang
    disampaikan dapat digunakan untuk memberi peringatan pada orang-orang mengenai
    tanda-tanda krisis sehingga mereka dapat mengenalinya serta menanggapinya secara
    dini untuk mengurangi kemungkian dampaknya terhadap mereka.

    Konpensasi dan Kasus Lapindo

    Dalam kasus Lumpur Panas di Porong Sidoarjo, kelompok Perusahaan Lapindo,
    sebenarnya sudah menunjukkan memiliki etika corporate responsibility dalam hal
    menangani korban semburan lumpur. Mereka nampak sungguh-sungguh ingin
    menghentikan luapan lumpur itu. Mau mengeluarkan dana untuk melokalisasi lumpur
    dengan pond pond dan tanggul-tanggul. Lapindo dengan kelompok Bakrienya juga
    menyediakan konpensasi bagi pengungsi, bahkan dana relokasi dengan membeli tanah
    dan rumah yang terendam.

    Bisa jadi Perusahaan ini sadar tentang arti penting reputasi untuk sustainable
    business. Apa yang mereka lakukan dengan mengeluarkan dana yang begitu besar
    selama banjir lumpur di Porong merupakan bukti hal tersebut. Besar kemungkinan,
    upaya mereka selama ini bukan karena persoalan “ketakutan terhdap sanksi hokum,”
    tapi lebih karena persoalan reputasi tadi. Mendudukkan perspektif corporate
    responsibility untuk menjaga reputasi amatlah penting. Perspektif ini perlu
    dihargai dan dibudayakan, karena jelas-jelas konpensasinya jauh lebih
    menguntungkan dari pada sekadar tuntutan kewajiban hokum. Untuk membangun
    reputasi, sebuah perusahaan bias melakukan apa saja, dengan dana tak terbatas,
    sepanjang itu mereka piker nantinya akan menguntungkan dalam jangka panjang.
    Sementara kalau sekadar memenuhi tuntutan aturan hokum, perusahaan bias
    melakukan kewajiban yang hanya minimalis. Dana yang harus dikeluarkan perusahaan
    malah bias tidak banyak, dan keluarnya-pun bias menunggu keputusan final
    pengadilan. Itu berarti menyengsarakan public atau korbannya.

    Lebih lagi, menghitung kerugian suatu bencana lingkungan tidaklha mudah.
    Terutama kalau harus menghitung biaya sosialnya. Upaya para ahli ekonomi untuk
    menilai biaya social ke dalam nilai uang masih kesulitan, karena beberapa sebab.
    Menurut Wuri Handayani (dalam Makalah yang disampaikan dalam Diskusi Panen di
    Unair, 20 Juli 2006). Pertama, rumitnya sebab akibat persoalan pencemaran
    lingkungan. Dimana suatu kerusakan lingkungan biasanya dikarenakan variable yang
    kompleks, tidak tunggal, dan bukan hanya kesalahan satu pihak. Kedua, persoalan
    social cost amat tergantung dari persepsi dan kesadaran masyarakat terhadap
    persoalan tersebut. Ketiga, adanya biaya social yang bersifat intangible, yang
    sulit diukur dalam bentuk uang, misalnya ketadaknyamanan para pengguna tol
    Surabaya-Gempol, Kerugian para importer, hilangnya rasa kesejahteraan dari para
    pengungsi karena harus pindah, gangguan pendidikan dan sebagainya.

    Jadi dalam menghadapi krisis atau bencana kelompok Lapindo sudah cukup
    menerapkan corporate responsibility. Dan perspektif semacam ini harus dihargai,
    dan dikembangkan untuk kasus-kasus yang lain. Pemerintah dan masyarakat harus
    mengihindarkan diri munculnya kesan justru menempatkan Lapindo dan kelompok
    Bakrie sebagai sapi perah (Cash Cow), hanya karena mereka siap mendanai berbagai
    upaya penanggulangan krisis.

    Tapi, Lapindi sendiri sebenarnya telah melakkan perbuatan yang amat fatal.
    Khususnya pada fase sebelum munculnya krisis atau bencana. Upaya kehati-hatian
    pencegahan terjadinya krisis tidak dilakukan jauh-jauh hari sebelum adanya
    semburan lumpur. Banyak bukti, menunjukkan Lapindo dan BP Migas tidakpernah
    mensosialisasikan kepada public, tentang apa yang akan atau sedang mereka
    lakukan. Makanya public cenderung mempersepsi bahwa mereka diabaikan. Kedua
    Lapindo juga tidak mengantisipasi, atau melakukan kehati-hatian akan kemungkinan
    terjadinya bencana lumpur seperti sekarang ini. Akibatnya tuduhan atau
    “munculnya bukti” human error dalam pengeboran menjadi alas an yang amat kuat
    untuk “menghukum” Lapindo dengan keharusan membayar ganti rugi, denda dan
    penjara. Intinya Lapindo amat terlambat ketika memberlakukan konsep corporate
    responsibility. Tapi itu tentu better late than never, lebih baik terlamat dari
    pada tidak sama sekali.

    Diposting oleh GAMACCA iNSTITUTE di 02:21

    http://gamacca.blogspot.com/2007/09/keadilan-dan-pemulihan-lingkungan.html

    BalasHapus

SUMBANGAN PEMIKIRAN SANGAT KAMI HARGAI